Rabu, 12 Februari 2020

Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?


Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

 
Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha,
Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha,



Judul : Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?
Tahun : 2019
Penerbit : Bentang Pustaka

Tahun 2019 ini Bentang menerbitkan dua buku serial, yakni Daur V dan Daur VI. Serial Daur VI ini diberi judul Siapa Sebenarnya Markesot? Yang sedikit-banyak mengulas tokoh Markesot yang kerap kali disebut Cak Nun dalam kesempatan Maiyah di mana pun. Markesot merupakan sebuah nama faktual sekaligus pula alegori. Kiprahnya menarik, menggelisahkan, bahkan terkadang mengejutkan. Cak Nun dalam tulisannya menulis, “Setelah beberapa kali menyelenggarakan perkumpulan pengajian yang membahas mengenai tafsir Al-Qur’an, Markesot mulai dibicarakan orang-orang. Mereka bertanya-tanya mengenai latar belakang ilmu agama yang dimiliki Markesot. Dia selama ini tidak dikenal sebagai ulama, ustaz, ataupun lulusan pesantren. Lalu bagaimana bisa dia mengajak anak-anak muda untuk mendiskusikan makna ayat-ayat Al-Quran?”

Buku Daur V – Markesot Belajar Ngaji


Daur V – Markesot Belajar Ngaji






Judul : Daur V – Markesot Belajar Ngaji
Tahun : 2017
Penerbit : Bentang Pustaka

Berbeda dengan Daur I-IV, Daur V diterbitkan tahun 2019. Sekalipun masih bersifat serial, Daur V memiliki keunikan tema khusus, yakni banyak membahas problem sehari-hari yang dihadapi manusia. Cak Nun mengajak pembaca untuk membaca dunia di sekitar kita secara awas, teliti, dan proporsional. Dalam Daur V ini Al-Qur’an sebagai petunjuk atau pedoman manusia dalam kehidupan sehari-hari banyak dikutip Cak Nun. Sidang pembaca dapat langsung membaca Daur V tanpa harus cemas karena tak mendapatkan kesinambungan tematis Daur I sampai IV.

Buku Emha

Buku Daur IV – Kapal Nuh Abad 21

Daur IV – Kapal Nuh Abad 21

 
Buku Cak Nun, Buku Daur IV – Kapal Nuh Abad 21, Buku Emha,
Buku Cak Nun, Buku Daur IV – Kapal Nuh Abad 21, Buku Emha,

Judul : Daur IV – Kapal Nuh Abad 21
Tahun : 2017
Penerbit : Bentang Pustaka

Cak Nun dalam serial Daur IV mengawali dengan pertanyaan apik, “Jika bahtera Nabi Nuh ada pada masa sekarang ini, apakah kita akan diajaknya ikut serta?” Sebuah pertanyaan analogis yang begitu relevan direfleksikan di era yang kerap disebut sebagai Revolusi Industri 4.0. Pada penjelasan berikutnya, ia melanjutkan, “Kalau Nabi Nuh mengulurkan tangannya untuk semua penduduk bumi pada abad 21 ini, mungkin kapal tersebut tidak akan pernah berhenti bergoyang. Tak pernah seimbang. Tak pernah tak limbung. Karena sesungguhnya, masing-masing penumpang tidak sedang menghayati jiwanya bersemayam di atas kapal Nabi Nuh, tetapi justru sibuk menaiki kapal nafsunya sendiri.”

Buku Daur III – Mencari Buah Simalakama

Daur III – Mencari Buah Simalakama

 

Buku Cak Nun, Buku Daur III – Mencari Buah Simalakama, Buku Emha,
 Buku Daur III – Mencari Buah Simalakama, Buku Emha, Buku Caknun

 

Judul : Daur III – Mencari Buah Simalakama
Tahun : 2017
Penerbit : Bentang Pustaka

Serial Daur III ini berisi kumpulan esai Cak Nun yang secara tematis setarikan napas dengan judul. Soal simalakama banyak dibahas di sini.
Cak Nun menulis, “Sepanjang masa hidupmu, kelak kamu akan menemui buah simalakamamu sendiri. Namun, tahukah kamu buah simalakama yang rasanya paling getir?
Yang kesakitannya bukan hanya dirasakan oleh dirimu saja, melainkan harus dipikul oleh jutaan orang di sekitarmu.
Inilah simalakama itu:
Ibu sebagai jelmaan alam,
Bapak berwujud pemerintah, dan
Rakyat yang menjadi anak-anaknya.
” Seperti halnya dua daur sebelumnya, Cak Nun mengajak sidang pembaca untuk mengamati persoalan sosial-kemasyarakatan yang terjadi di sekitar kita.

Buku Daur II – Iblis Tidak Butuh Pengikut

Daur II – Iblis Tidak Butuh Pengikut

Buku Cak Nun, Buku Daur II – Iblis Tidak Butuh Pengikut, Buku Emha,
 Buku Daur II – Iblis Tidak Butuh Pengikut, Buku Emha, Buku Caknun

 

Judul : Daur II – Iblis Tidak Butuh Pengikut
Tahun : 2017
Penerbit : Bentang Pustaka

Sebagaimana Daur I, Daur II yang diberi judul Iblis Tidak Butuh Pengikut ini merupakan kumpulan esai. Subjek utama yang banyak diulas Cak Nun di sini adalah iblis. Seperti seorang kakek yang mengajak dialog kepada anak dan cucunya, Cak Nun menulis, “Seberapa bencikah engkau dengan iblis? Yang selalu kau kutuk di sela doa-doamu. Yang selalu kau persalahkan ketika kegelapan menutupi hatimu. Apakah kalian benar-benar percaya jika hatimu hanya memiliki dua sisi yang berseberangan? Kebaikan di sisi malaikat dan keburukan di sisi iblis.” Cak Nun dalam Daur II ini mengajak kita untuk berefleksi sejenak, mengambil jarak terhadap iblis, kemudian mengamati perilaku kita sehari-hari dalam rangka “membaca isi hati”.

Buku Emha

Buku Daur I – Anak Asuh Bernama Indonesia

Daur I – Anak Asuh Bernama Indonesia

 

Buku Cak Nun, Buku Daur I – Anak Asuh Bernama Indonesia, Buku Cak Nun, Buku Emha,
Buku Cak Nun, Buku Daur I – Anak Asuh Bernama Indonesia, Buku Cak Nun, Buku Emha,

 

Judul : Daur I – Anak Asuh Bernama Indonesia
Tahun : 2017
Penerbit : Bentang Pustaka

Daur seri pertama ini berisi kumpulan esai Cak Nun yang ditulis sepanjang tahun 2016. Sebagaimana dinyatakan secara eksplisit oleh Cak Nun, “Aku dititipi perjuangan bersama engkau semua, Anak-anak dan Cucu-Cucuku. Perjuangan yang meskipun engkau dikepung oleh kegelapan, tetapi engkau tetap sanggup menerbitkan cahaya dari dalam dirimu. Meskipun tertatih di jalanan yang sangat terjal, engkau tetap mampu menata kuda-kuda langkahmu sehingga terjalnya jalan itu bergabung ke dalam harmoni tangguhnya langkahmu.” Pernyataan yang dikutip secara verbatim tersebut jelas menandaskan kalau Daur I berjudul Anak Asuh Bernama Indonesia berisi belantara pemikiran Cak Nun.

Buku Emha

Kamis, 30 Januari 2020

Daur I No.080 Semoga Yang Kaya Makin Kaya

 

Daur-I • 80

Semoga Yang Kaya Makin Kaya

Sebelum masuk gerbong dan berjumpa dengan rekan-rekannya komunitas filosof, Markesot tak sengaja sudah menyiapkan semacam doa.

“Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka”

“Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret, menggangsir atau syukur merampok rumah mereka”

“Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit”

“Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-dosa ini sebagai wujud  pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan lil’alamin”

***
Di tengah komunitas komunitas filosof di gerbong-gerbong, bawah jembatan, ‘Wesel 16’ atau manapun tempat yang memungkinkan mereka berteduh sementara atau bersarang permanen, ada yang memanggil Markesot Kiai, saat lain dipanggil Tumenggung atau Kopral.

Disebut Kiai karena Markesot paling sok mengait-ngaitkan apa-apa dengan Tuhan. Dipanggil Tumenggung karena Markesot yang paling bisa berhubungan dengan lingkungan sosial di luar komunitas mereka. Adapun Kopral, karena Markesot yang punya sambungan dengan titik-titik penting peta tokoh-tokoh lokal-regional-nasional yang masyarakat menyebutnya Preman,  Gali, Korak, dari level Gentho, Dauri, Buto Kempung, Buto Mati, Tikyan dan seterusnya.

Sebentar. Tadi disebut Wesel-16? Apa itu? Kereta api berjalan berdasar atau di atas atau mengikuti rel. Kapan rel digeser, kereta api ngikut.

“Yang berkuasa selalu yang bawah”, kata Markesot, “kereta api yang di atas, bisa anjlog bisa terguling atau berjalan lancar, tergantung relnya. Problemnya, rel yang sangat dahsyat kekuasaannya ini, diatur dan taat kepada pegawai Stasiun….”

Untuk memindahkan rel, digunakan Wesel yang digerakkan secara manual ataupun dengan menggunakan motor listrik, atau sekarang bisa pakai komputer digital. Jadi wesel itu bukan hanya kertas hijau-kelabu tanda pengiriman uang di jaman Mataram pasca-Majapahit. Wesel-16 artinya alat ke-16 di sebuah Stasiun untuk pengaturan rel.

***
Tapi apa hubungannya dengan komunitas kaum filosof? Yang berkaitan dengan komunitas filosof bukan kereta apinya, juga bukan relnya, apalagi dengan weselnya. Hanya gerbong rusaknya.

Para filosof tidak ada urusan atau kepentingan terhadap Perusahaan Kereta Api. Pertama karena perusahaan tidak butuh orang, yang dibutuhkan adalah uang sebanyak-banyaknya. Kedua, kereta api tidak mengaitkan diri dengan orang, yang ia butuhkan adalah penumpang. Itu pun tidak harus benar-benar penumpang, yang penting siapapun dan apapun saja yang membeli tiketnya.

Bahkan kalau ada Jin membayar untuk memborong satu gerbong, di-support Setan membeli 200 tiket, tapi Jin dan Setan tidak naik kereta itu dan membiarkannya kosong: perusahaan kereta api tidak berkeberatan apa-apa. Malahan itu lebih baik dan aman bagi petugas kereta api maupun bagi para penumpang, daripada mereka duduk segerbong dengan anggota-anggota Jin dan Setan.

Jadi Wesel-16 itu sekadar dipakai saja sebagai sebutan untuk memudahkan siapapun menemukan lokasi Las Vegas di dekat Wesel-16 itu.

Lho kok Las Vegas? Di area sebelah Wesel-16 itu ada tempat perjudian, pelacuran, minuman keras, mungkin juga narkoba, bertaburan lelaki perempuan banci berkomunitas pada jam-jam tertentu, melaksanakan hajat-hajat mereka, pada tingkat ekonomi terendah.

Ada gerumbul dedaunan yang sangat rimbun di beberapa sudut. Lelaki perempuan banci melaksanakan transaksinya di balik gerumbul daun itu. Kalau ada siapapun yang disuruh orang untuk menjadi Presiden, Gubernur atau Walikota strip Bupati, pertama-tama yang harus ia datangi adalah Wesel-16. Itulah usus terdalam kehidupan rakyatnya.

***
Tetapi bukan Wesel-16 area yang didatangi Markesot malam itu. Setelah menyusuri rel sekian puluh kilometer, ia bermaksud menginap di Rumah Singgah kaum filosof, yakni gerbong rongsokan, yang mungkin di dalamnya bisa ia jumpai sejumlah kawan lamanya, atau mungkin banyak juga pendatang-pendatang baru yang Markesot belum mengenalnya.

Sejak lama sejumlah filosof meminta kepada Markesot untuk diajari nyluring. Sebagaimana dimafhumi bersama, menjadi Maling Cluring adalah cita-cita paling ideal bagi kalangan tertentu di komunitas filosof.

Keterampilan mencopet, umpamanya, sudah merupakan tingkat kecanggihan yang umum jangan meremehkan. Pada seorang pencopet, keprigelan jari-jari dan tangan, peletakan badan di tengah keramaian dan keluwesan seluruh batang tangan, kejelian terhadap posisi dan momentum, pendayagunaan kecepatan dan kehalusan, berani tanding melawan para pesulap level tertentu.

Tetapi jurus copet masih tergolong rendah dalam konstelasi ilmu lelaku para filosof. Kalau jambret adalah gabungan antara kekurang-terampilan mencopet dicampur keberanian, mental nekad dan sedikit kebodohan.

Meskipun demikian jangan abaikan ada pencopet kaliber internasional. Tidak sekedar korban beli tiket naik kereta api kemudian menggerayangi koper-koper dan tas-tas tatkala para penumpang tidur lelap. Atau sewa pakaian necis masuk Mal dan gedung-gedung fasilitas umum melaksanakan sejumlah ilmu sulap memindahkan uang atau perhiasan atau barang dari suatu koordinat ruang ke koordinat lainnya.

***

Pencopet internasional punya modal besar. Ke kantor Imigrasi bikin passport. Membawa map berkas-berkas identitas ke Kedutaan Negara yang dimaksud untuk mendapatkan visa. Beli tiket pesawat ulang-alik. Selama sekian belas jam di pesawat menerapkan “innalladzina amanu wa hajaru wa jahadu”: sesungguhnya mereka yang beriman, berhijrah dan berjuang….

Percaya bahwa sangu dan barang para pelancong lintas negara pasti lebih banyak dibanding penumpang kereta, bis atau kapal antar pulau. Berhijrah, bergerak pindah-pindah wilayah, tidak hanya dari Pasar Senen ke Pasar Beringhardjo, dari Stasiun Tugu ke Stasiun Gubeng, tapi dari Jakarta ke Sydney atau Abu Dhabi atau Seoul atau minimal Hongkong ulang-alik.

Tetapi pencopet internasional semacam itu bukan minat umum komunitas filosof. Mereka eksklusif. Segmen sosiologisnya tertentu. Berasal dari sebuah wilayah Kecamatan di sebuah pulau. Tradisi budaya dan pendidikan sejak kanak-kanaknya mempersiapkan itu semua. Dan itu turun temurun.
Maling Cluring, yang dimintakan aji-ajinya kepada Markesot, lebih sederhana dan pragmatis.

Sasarannya adalah rumah, kantor atau bangunan-bangunan. Maling kelas rendah meng-gangsir, melubangi bagian bawah dari tembok rumah, berperang melawan cor-coran batu semen. Kelas di atasnya mendobrak pintu atau menjebol jendela. Kelas lebih canggih menggunakan keterampilan olah batang-batang besi kecil untuk membuka gembok dan rumah kunci.

Maling Cluring cukup menggunakan cahaya untuk memasuki rumah atau ruangan berdinding. Asal ada cahaya melintas menyambung bagian dalam dan bagian luar, bisa di-cluring-i. Ada yang kemampuannya terbatas, cahaya harus berasal dari dalam keluar, baru ia bisa masuk. Semester di atasnya bisa cahaya dari luar. Atau asalkan ada cahaya.

Markesot belum memenuhi permintaan Ilmu Cluring. Ia masih selalu menjawab: “Harus lulus dulu satu ilmu, baru mungkin mempelajari cluring”

“Ilmu apa itu?”, mereka bertanya.

“Ilmu tidak mencuri”, jawab Markesot.

https://www.caknun.com/2016/semoga-yang-kaya-makin-kaya/ 
Koleksi Buku Yaddie Jossmart
 


Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?   Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha, Judul : Daur VI – Siap...