Kamis, 30 Mei 2019

Daur I No.046 Markesot Masuk Dunia Maya

 

Daur-I • 46

Markesot Masuk Dunia Maya

Seperti dongeng, pertemuan di Patangpuluhan itu diakhiri tanpa adanya Markesot. Sengaja menghilang, sebagaimana kebiasaannya dulu, atau bagaimana, belum jelas.

Teman-teman Markesot yang berkumpul itu kelelahan karena nonstop saling mendengarkan pembacaan karya di antara mereka hampir semalaman. Pagi itu beberapa di antara mereka yang khusyuk semalaman, justru masih tidur pulas.

Lainnya yang semalaman lebih banyak tidur karena lelah dan malas mendengarkan, sudah duluan bangun, dan bersiap untuk kembali ke tempatnya masing-masing.

Salah seorang bercerita kepada temannya bahwa semalam sambil setengah tidur samar-samar ia mendengar, entah beneran atau entah mimpi, Markesot berkata:

“Kali ini masalah yang mengancam Bangsa dan Ummat kalian jauh melebihi apa yang sering kalian diskusikan, bahkan melampaui tingkat yang kalian pernah bayangkan. Bangsa kalian sedang benar-benar dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kalian sendiri. Ummat kalian sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat kalian sendiri. Hari ini kadar kehancuran dan kerusakan yang dicapai adalah bahwa Bangsa dan Ummat kalian tidak menyadari bahwa mereka sedang dihancurkan dan dirusak. Bangsa dan Ummat kalian hanya punya waktu beberapa tahun untuk mulai menyadari itu”

Temannya merespon, “Kapan Markesot tidak omong yang serem-serem. Dan kalau memang benar demikian, kenapa sekarang dia justru menghilang?”

***
Sebenarnya mereka tidak menganggap bahwa Markesot benar-benar menghilang. Biasalah kelakuan orang itu, sejak dahulu kala mereka mengenalnya. Terkadang pergi mendadak entah ke mana, kemudian datang juga tiba-tiba. Markesot tidak pernah bilang dia dari mana, semua orang lainnya juga tidak pernah menanyakannya.

Awal-awalnya ada yang bertanya. Begitulah pergaulan. Sewajarnya saling menyapa dan bertanya.

Tapi sesudah menghilang, kalau ditanya “dari mana”, Markesot menjawab dengan tersenyum “dari mata turun ke hati”. Saat lain menjawab “dari Bandung ke Surabaya”. Kalau pas cemberut wajahnya, Markesot menjawab “dari sono ke sini”. Atau bahkan “dari dunia ke akherat”.

Ada yang beranggapan bahwa Markesot memang sok misterius. Lainnya merasa tidak punya hak untuk tahu. Lainnya lagi berkesimpulan bahwa Markesot tidak lengkap etika interaksinya, tidak informatif dan tidak punya imajinasi bahwa mungkin saja teman-temannya perlu tahu ke mana dia pergi.

Tetapi ketika teman-teman itu satu per satu didesak jadwalnya untuk segera meninggalkan Patangpuluhan, lama-lama mereka berpikir bahwa Markesot kambuh penyakitnya. Ia pasti menghilang entah ke mana, sebagaimana dulu. Ia yang meminta mereka datang, ia juga menyambut kedatangan mereka, tapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk pamit sebagaimana normalnya orang bertamu-tamuan.
***

Tapi memangnya apa yang normal pada kehidupan Markesot? Coba saja amati rumah hitam Patangpuluhan ini. Sewanya saja sepersepuluh dibanding harga umum. Yang punya rumah orang Jawa tapi warganegara dan tinggal di Selandia Baru. Datang dua-tiga tahun sekali, tidak butuh uang, sehingga sewanya tak pernah dinaikkan.

Selandia baru tergolong Negeri Sorga, makmur, cukup adil pengelolaan kebersamaannya, tidak punya masalah dan tidak pernah bikin masalah dengan masyarakat lain di Bumi. Entah bagaimana Si Jawa Prambanan itu dulu bisa sampai ke Selandia Baru. Sesekali ia ‘mudik’ untuk klangenan, merasakan kembali ‘kampung halaman’, datang ke Patangpuluhan, melihat-lihat, menikmati salah satu bagian dari jiwa masa silamnya yang terbawa sampai sekarang dan kapanpun.

Beberapa kali malah Si Jawa Sepuh itu kasih biaya ke Markesot untuk memperbaiki beberapa hal di rumah Patangpuluhan: temboknya yang lembab, kamar mandinya yang kacau, mengganti meja kursi bambu yang sangat tidak layak pakai, dan beberapa hal lagi. Apakah itu normal? Di mana ada empunya rumah yang menyewakan rumahnya sebegitu murahnya, bahkan memberikan biaya perbaikannya?

Hanya fakir miskin jenis Markesot yang mendapatkan anugerah seperti itu. Semua teman Markesot tahu bahwa memang rumah itu kosong puluhan tahun lamanya sebelum disewa oleh Markesot. Jadi si Selandia Baru itu senang bukan main Markesot berkenan menyewa rumahnya. Sebab aslinya memang tidak ada siapapun sudi menyewanya. Bukan hanya karena buruknya keadaan rumah itu, tetapi terutama karena tempat itu adalah sarang hantu.

***
Ah, bukan. Bukan sarang hantu. Mana ada hantu mau bersarang di rumah hitam Patangpuluhan. Hantu kelas bawah, kasta rendah, mungkin. Dan lagi, hantu apa dan siapa maksudnya? Energi liar? Ruh orang tidak ikhlas mati? Anak turun Iblis?

Hantu dari sekitar Yogya? Apa Mbah Petruk, Kiai Gringsing, atau Syekh Jumadil Kubro itu hantu? Atau Parpolo di keraton Merapinya. Jeyeng Westhi Parangwedang, Buto Kepolo Prambanan, Mbok Bereng Parangtritis, Rajeg Wesi Plered, Nyai Panggung Kotagede? Apa perlunya beliau-beliau ini ke Patangpuluhan? Apa menariknya Patangpuluhan? Mereka sudah mapan di palenggahan masing-masing bersama komunitasnya.

Apalagi yang jauh-jauh. Apakah karena di Yogya banyak pendatang dari berbagai daerah, maka masyarakat hantu juga mendistribusikan pasukannya untuk mengawal para perantau itu? Bolobatu Blambangan, Endrayaksa Magetan, Lancur Blora, Lowar Subang, Kuru Bogor, Pujongga Pujonggi Kediri, Telubrojo Cilacap, Wirasul Waringin Bali, Korep Ponorogo, Trenggiling Wesi Majenang, Sido Kare Pacitan, Duduk Warih Labuhan dan sekian ratus komunitas hantu lainnya?

Apakah ada kaitan ‘genekologis-historis’ antara mereka itu dengan Komandan-komandan Batalyonnya Iblis di seantero Bumi: Komandan Tsabar, Komandan Dasim, Al-A’war, Miswath, Zaknabur? Atau sekedar sayap-sayap jauh atau ranting dari dahan-dahan Kaum Jin Global: Jan, A’mir, Ifrith, Arwah? Atau komunitas hantu-hantu yang menyebar itu sebenarnya semacam bangsa jajahan dari kolonial-kolonial dunia maya: Hudais, Hudavis, Jalnabur, Biter, Mansud, Qafandar, Akwariya Zawal, Wahhar, Tamrih, Matkun, Ruhaa, Wasuth, Khanzab, Haffaf, Zalinbur Zalitun, Tsabur, Walhan, Lagus, Abyad, Awan dan Watsin?

Ataukah karena sejatinya Markesot adalah bagian dari masyarakat maya itu? Sehingga sebenarnya Markesot bukannya menghilang atau pergi tanpa pamit. Mungkin Markesot tetap ada di Patangpuluhan, tetapi nyelip di salah satu lipatan gelombang yang teman-temannya tidak bisa melihatnya dengan pandangan jasad?

Dan si Bapak dari Selandia Baru itu sesungguhnya adalah rekanan  Markesot sesama hantu? Sehingga membayar sewa rumah Patangpuluhanpun selama ini bukan pakai uang manusia, melainkan mungkin dupa, kemenyan, bawang campur tanah kuburan, atau entah apa.

Semakin jelas: apa yang normal pada kehidupan Markesot? Kenyataannya maya. Realitas hidup Markesot adalah Dunia Maya. Pantas dia tidak pernah mau beli gadget, tidak mau masuk internet, alergi kepada medsos, pergi menjauh dari media massa.

 https://www.caknun.com/2016/markesot-masuk-dunia-maya/

Foto: Koleksi Suyadi jossmart.com


Daur I No.045 41


Daur-I • 45

41

Karena tidak bisa mendapatkan bahan apapun tentang 41, maka si-41 justru sangat dan selalu hadir dalam kesadaran maupun bawah sadar Markesot, sejak kanak-kanak hingga dewasa.

Melakukan apapun, pergi ke manapun, bertemu dengan siapapun, spontanitas Markesot adalah 41.

 Kalau masuk hutan ia selalu menyempatkan diri untuk berhenti di berbagai tempat, hanya untuk menghitung pohon hingga jumlah 41. Lewat jalanan, ia seperti orang kurang lengkap ingatan menoleh sana menoleh sini, menghitung 41 warung, 41 tiang listrik, 41 motor, 41 wanita muda, 41 setengah tua, 41 nenek-nenek. Semua ia hitung.

Kalau belum beres hitungannya wajah Markesot tampak panik seperti akan ada gunung meletus. Setiap kali selesai hitungannya, bercahaya matanya, gembira seperti sedang khataman Qur`an. Dan di antara semua yang tampak mata yang dihitungnya, yang paling membuat mripatnya berbinar-binar dan bibirnya tersenyum-senyum adalah tempat sampah, gelandangan, pengemis, pengamen, batu atau kerikil yang berceceran, serta segala sesuatu yang segelombang dan sederajat dengan dirinya.

Terus terang kadang-kadang bergerak-gerak menghitung sesuatu entah apa yang orang di sekitarnya tak bisa melihat. Terkadang perilakunya menunjukkan bahwa ia tidak sendirian menghitung sesuatu. Saat-saat tertentu Markesot tampak seperti sedang omong-omong dengan teman di kiri-kanannya. Dan yang paling tidak diketahui adalah bahwa sebenarnya Markesot sendiri sedang dihitung.

***
Dihitung oleh siapa? Bagaimana mungkin pertanyaan itu bisa dijawab. Markesot saja tidak jelas ada dan tidaknya, apalagi yang menghitungnya. Bahkan tidak bisa dipastikan berapa sebenarnya jumlah Markesot. Mungkin ia dihitung: Markesot-1, Markesot-2, Markesot-3…sampai minimal 41.

Markesot sebagai angka saja tidak menginformasikan sesuatu yang pasti. Apalagi Markesot sebagai apa: manusia atau hantu? Jin atau setan? Jangan pula bertanya Markesot sebagai siapa. Sebab “siapa” adalah ruangan yang paling komplit kandungan nilainya.

Itulah sebabnya umumnya ummat manusia merasa kelelahan, sehingga mempersempit dan menyederhanakan dirinya menjadi Insinyur, Ustadz, Budayawan, Saudagar, Presiden, Pedagang, Menteri, Kuli, Staf Ahli, Komisaris, dan macam-macam lagi. Padahal semua hasil simplifikasi dan penyempitan ini bukanlah “siapa”. Paling jauh ia sekedar “apa”.

Markesot pernah bercerita tentang ciptaan Allah yang paling indah, amat dicintai dan sangat disayang, yang Allah memberinya nama Nur Muhammad. Se-zarrah dari Nur Muhammad ditiup oleh Allah ke Bumi mewujud jadi Muhammad bin Abdullah, yang diberi jatah hidup dan tugas amat sangat sejenak, 63 tahun ukuran Bumi.

Yang hanya se-zarrah itu keindahannya menghapus seluruh keindahan jagat raya. Kebesarannya mengerdilkan seluruh alam semesta beserta isinya. Si Zarrah ini memulai membangun peradaban Bumi begitu usianya memasuki 41 tahun. Allah menuturkan kepastian, di Surah 41 ayat 41, bahwa siapa saja yang melakukan pengingkaran terhadap Qur`an-Nya sesudah kitab kedermawanan Allah ini mendatanginya, maka di depan langkahnya ia ditunggu oleh celaka dan bencana.

Itu pasti. Tinggal soal waktunya yang disimpan Allah di laci rahasia-Nya. Sebab Allah menamai kumpulan rahmat firman-Nya ini dengan nama-Nya sendiri: Kitabun ‘Azizun. Dengan nama yang sama pula Allah menggelari cipratan di Bumi dari se-zarrah Nur Muhammad yang dilahirkan oleh Ibu Aminah dan Bapak Abdullah.

Allah, Muhammad, Al-Qur`an Segitiga Cinta. Tiga titik dalam satu bulatan cinta. Tiga yang satu, satu yang men-tiga. Maka pada hakekatnya 33, 40, 41 atau angka berapapun adalah Tunggal. Di awal dan di akhir, hanya Tunggal. Di antara Tunggal Awal dan Tunggal Akhir dibentang gelembung besar panjang yang berisi puisi-puisi cinta dan dongeng-dongeng yang indah.

***
Berapapun adalah tunggal. Yang terbatas maupun yang tak terbatas, dikandung oleh Yang Maha Tunggal. Markesot menghitung-hitung dan menikmati 41 di mana-mana untuk menemukan dan meneguhkan Tunggal di dalam jiwa kehidupannya.

Coba kalau 7 ayat Al-Fatihah digelindingkan berputar 5 kali, sesudah itu pada putaran ke-6 ayat ke-6 atau ke-41 kalau dari awal: ternyata adalah maqam makhluk manusia yang memanggul tugas kekhalifahan: “Ihdinash-shirothol mustaqim”. Hidup manusia berposisi doa, berposisi belum atau sedang. Sedang berjuang sepanjang hidup hingga hijrah melalui maut, untuk mendapatkan ridha Allah.

Jadi di dalam urusan diridlai atau tidak diridlai oleh Allah, masuk sorga atau neraka, tersesat atau tidak tersesat, bersertifikasi Muslim atau Kafir, tidak ada manusia yang bisa memastikan dan dipastikan. Tidak berposisi untuk menuduh Kafir, bahkan tidak berposisi untuk meyakini diri Muslim. Pada ketukan ke-41 putaran ayat-ayat Ibu Qur`an, semua manusia berada di tahap “Ihdinash-shirothol mustaqim”.

Markesot “GR” mencari koordinat Surah ke-41 pada ayat ke-53, romantisme tahun kelahirannya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Ia menepuk dadanya sendiri di depan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri: “Salahkah saya meminta 40 orang sahabat-sahabat, menjadi 41 dengan saya, berkumpul di Patangpuluhan? Bukankan sudah jelas Surah dan Ayatnya?”

Padahal Qur`an itu setiap huruf adalah semua huruf, setiap ayat adalah semua ayat, setiap bagian adalah pusat, setiap titik adalah bulatan. Surah apa saja ayat mana saja merupakan petunjuk, ilmu dan hikmah bagi tema apapun saja dalam kehidupan ummat manusia, dari sate kikil hingga Illuminati, dari upil hingga Bank Dunia, dari gathul hingga konglomerat Cina.

***
Jadi, sesudah wudlu, syukur shalat likulli thayyibah, buka saja Al-Qur`an sebisamu, seikhlasmu, sambil pejam mata pun malah lebih pasrah karena bebas dari pretensi pandangan mata.

Temukan dirimu dalam bukaan dua halaman yang kau peroleh di Qur`an itu. Cerdasi perlambang-perlambangnya, peka terhadap ada-mu padanya, beban masalahmu dan jalan keluarnya. Atau masukilah pakai cara apapun asalkan sopan kepada Al-Qur`an, berterima kasih kepada Rasulullah dan berakhlak kepada Allah.

Biasa “yasinan”? Periksa ayat ke-41: Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan”. Coba lihat-lihat lagi, benarkah Bangsamu tidak memerlukan “Bahtera Nuh”, atau antisipasi semacam itu dalam formula apapun, besok, atau mungkin hari ini, bahkan sejak beberapa waktu kemarin? Apa kamu pikir keadaan Bangsamu baik-baik saja? Apa kamu sudah matang menilai, apakah yang menguasai Bangsamu itu Negara ataukah Pemerintah?

Kalian kan orang-orang Mu`minum, kaum beriman. Bener beriman kepada Allah? Jangan-jangan patuh kalian kepada berhala-berhala: uang, harta benda, jabatan, akses, konglomerat yang membiayai pembelian kursimu?

Bisakah kalian memastikan bahwa yang tertera di ayat ke-41 Al-Mu`minun ini tidak akan terjadi pada kalian: “Maka dimusnahkanlah mereka oleh suara yang mengguntur dengan hak dan Kami jadikan mereka (sebagai) sampah banjir maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang zalim itu”.

Berhentilah memperlakukan rakyatmu jadi sapi perah kepentingan golonganmu. “Sapi Betina” ayat ke-41 sudah sangat lama melenguh: “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran)…dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertaqwa”.

Foto: Koleksi Suyadi Jossmart.com


Daur I No.044 Hanya Allah Selebihnya Hanya Dongeng


Daur-I • 44

Hanya Allah, Selebihnya Hanya Dongeng

Ternyata 41 itu romantisme dari masa kanak-kanak Markesot.

Dulu Wak Mad kalau bikin Yasinan di Langgar selalu berjumlah 41. Dibagi-bagi sesuai dengan peserta yang datang. Kalau 10 orang, maka setiap orang membaca 4 kali Yasin, kecuali Wak Mad yang membaca 5. Kalau kemampuan dan kecepatan baca mereka berbeda-beda, dirundingkan ada yang dapat 1 atau 2 atau 3 atau berapapun yang layak.

Tapi sampai Wak Mad meninggal, Markesot tidak pernah mendapat penjelasan kenapa 41. Kok tidak 40 atau 33. Atau tak usah pakai jumlah-jumlah, yang penting ikhlas semampunya. Markesot sudah mencoba bertanya kepada banyak orang pinter tapi tidak ada yang jelas jawabannya. Akhirnya Markesot mencari sendiri, membayang-bayangkan sendiri dan mendongeng-dongengkannya kepada dirinya sendiri. Sebagaimana dikisahkan dalam dongeng Markesot Joko Lanjaran tentang pencapaian 41 hamba Allah pada batas yang berbeda-beda, berdasarkan sub-sub satuan 41.

Dongeng, bukan? Apalagi ungkapannya selalu dengan kata-kata besar, bahasa muluk-muluk. Coba baca kembali:… cahaya, kegelapan, dunia Jin, Indonesia, banci, hutan belantara, hujan deras, kanker, zigzag, ketidaklayakan, aurat, kulit mangga, brutal, pendamai, doa dan dosa, jamaah maiyah, perhimpunan njarem, jape-methe, tajalli, peta diri….entah apa lagi.

Dideret-deret disusun-susun menjadi orkestra panjang penderitaan, lagu-lagu keluhan, puisi-puisi ratapan, kecengengan-kecengengan dongeng yang didongengkan oleh tokoh di dalam dongeng.
Terkadang, kepada orang tertentu, Markesot berkata: “Yakinlah bahwa semua yang kuomongkan adalah dongeng. Rajinlah makan batu, karena sungguh batu bukanlah dongeng”.

Kepada orang yang berbeda, Markesot menambahkan: “Kalau suatu hari hidupmu dipenuhi batu dan rumahmu ditimpa batu, tak ada masalah bagimu, karena toh batu adalah makananmu”.
***
Mereka disihir oleh Markesot seakan-akan datang dengan membawa tulisan masing-masing. Membacakannya satu demi satu. Apakah itu benar-benar terjadi? Teman-teman Markesot itu kerasukan Jin. Dan Jin-nya tak lain tak bukan adalah Markesot sendiri.

Di tengah itu ia gila, meledakkan cambuk, tertawa-tawa sinting seperti yang mereka kenal dahulu kala di Patangpuluhan. Akan butuh waktu cukup lama bagi 40 orang itu untuk menyimpulkan apakah sehari semalam itu berada dalam keadaan jaga ataukah tidur.

Kalau tidak jelas jaga atau tidur, sadar atau tak sadar, dua kemungkinannya. Majdzub, kalau positif, sebab mereka dijadikan medium atau wadah atau penyalur dari energi positif. Atau kangslupan, kalau negatif, karena yang ngangslupi adalah hantu yang bernama Markesot.

Apakah kalau ditarik garis ke atas, dari Markesot, akan sampai ke Malaikat Jibril? Mana mungkin. Kalau sampai ke Iblis, bisa jadi, meskipun tidak ada yang sekarang bisa memastikannya.

41 tulisan yang berisi omong besar dan festival kesengsaraan bangsa itu sudah pasti berasal dari dongeng Markesot sendiri.

Tetapi hanya setan dan hantu-hantu yang sesekali mendengarkan kata-kata Markesot itu. Siapa percaya?

Lihatlah keluar jendela sana. Tengoklah jalanan yang makin ramai dan macet oleh kendaraan-kendaraan. Pandanglah gedung-gedung makin banyak. Itu adalah tanda-tanda kemajuan bangsa.
Tataplah bangunan-bangunan tinggi. Makin banyak dan makin tinggi mengancam langit. Apa itu kalau bukan meningkatnya peradaban.

Tontonlah televisi, bacalah koran-koran dan majalah, bergabunglah memasuki medsos, media sosial, media silaturahmi terbaik tercanggih tanpa ada yang akan lebih canggih lagi.

Bukalah internet. Kelilingkanlah penglihatanmu, tebarkan pendengaranmu, lengkapkan kesadaranmu. Apa yang kurang dari Negara dan Bangsa ini? Makin maju. Makin makmur. Makin canggih. Makin bergerak ke depan.

Nikmatilah kiprah para pemimpin Bangsa dan Negara, yang tegas, yang profesional, yang mumpuni, yang merupakan pilihan terbaik dari segala pilihan yang pernah dilakukan sepanjang sejarah.
Markesot saja yang tidak pernah bergerak ke depan. Markesot beku di masa silam. Mandeg ditinggalkan oleh waktu.

Siapa yang paham kalimat Markesot kecuali setan dan hantu?

Maka sampai Markesot dewasa, kemudian menua, sampai ketika ia mengundang teman-temannya ke Patangpuluhan, semua 40 orang itu seperti diseret masuk oleh Markesot ke dalam dunia dongeng.
Padahal mereka sudah menemukan hidupnya masing-masing. Berkeluarga dengan sukses. Bekerja dan berkembang. Berkarya dan berprestasi. Mungkin hanya karena sopan santunlah sajalah mereka memenuhi permintaan Markesot untuk berkumpul di Patangpuluhan.

Lambat atau cepat mereka akan terbangun dari mimpi dan kerasukan sehari semalam. Tatkala matahari terbit nanti dongeng Markesot akan berakhir, sihir Markesot akan sirna, khayalan Markesot akan lenyap.

***
Tetapi sampai matahari hampir terbit, mereka masih tidur nyenyak. Sehingga tidak ada pertanyaan pada mereka siapa yang membaca tulisan ke-41. Nanti kalau mereka bangun belum tentu juga ada yang ingat tulisan ke-41, apalagi tentang siapa yang membacanya.

Lebih dari itu, siapa bilang tulisan ke-41 adalah tulisan yang dibacakan pada urutan ke-41? Atas dasar ukuran apa dan berpedoman pada teori teknis redaksional yang bagaimana? Bagaimana kalau tulisan yang dibacakan pada urutan ke-15 sebenarnya adalah tulisan ke-1, sementara yang dibacakan pada urutan ke-18 fungsinya adalah tulisan ke-41? Atau berbagai macam kemungkinan dan acakan yang lain?

Markesot pernah memberi pertanyaan: “Ketika Baginda Adam diturunkan dan tiba di Bumi, itu pas hari apa? Juga tatkala Ibunda Hawa menyusul, kaki beliau menginjak tanah Bumi pertama kali pada siang atau malam hari?”

Di kesempatan lain Markesot melontarkan banyak pertanyaan lain yang bisa dipastikan dia sendiri tidak mampu menjawabnya. “Berapa tinggi badan Nabi Khidlir? Lebih tinggi mana dibanding Nabi Musa? Berapa luas bahtera Nabi Nuh? Berapa panjang landasan runaway pesawat di zaman Nabi Hud? Berapa jumlah Aji-aji yang dikuasai oleh Nabi Sulaiman? Bagaimana bunyi dialog antara Nabi Ibrahim dengan api Firaun yang membakarnya?”

Kebanyakan makhluk kasat-mata di Bumi terlalu meyakini bahwa hari adalah benar-benar hari, bahwa angka adalah hakiki angka, atau bahwa ruang dan waktu adalah sungguh-sungguh ruang dan waktu. Mereka mengira Surat Al-Hadid adalah mata kuliah besi, atau Al-Baqarah adalah firman buat para Cowboys.

Peradaban teknologi dan kebudayaan dibangun dengan pilar angka, padahal toh lenyap di infinitas. Tuhan menganugerahkan kemerdekaan seolah tanpa batas, padahal kemerdekaan adalah alat untuk menentukan batas, tapi kemudian batas-batas dibatalkan oleh ketidak-terbatasan atau ketiadaan batas.
Segala sesuatu, apapun, jagat raya, alam semesta, hanyalah satu. Hanyalah tunggal. Hanyalah Sang Maha Tunggal. Sang Hyang Maha Tunggal menggeliat, meregang, menghembuskan maha-nafas, berlagak memuaikan dirinya, menciptakan konsep 1, 2, 3, 4, milyaran, trilyunan, sampai tak terhingga. Dan semua regangan-Nya memerlukan waktu sangat lama untuk menemukan sesungguhnya mereka semua hanya bagian dari Tunggal.

Bagian-bagian amat sangat kecil yang tak berarti dari Sang Maha Tunggal. “Hanya Allah”, kata Markesot, “selebihnya hanya dongeng”.


https://www.caknun.com/2016/hanya-allah-selebihnya-hanya-dongeng/
Foto : Koleksi Suyadi.Jossmart.com

Daur I No.043 Rendah Diri dan Sombong


Daur-I • 43

Rendah Diri dan Sombong

Jadi khataman apa tidak ? Yang bagus ya khataman, untuk merayakan tuntasnya 41 tulisan, serta untuk syukuran 40 orang bertemu kembali sesudah berpisah sekian puluh tahun.

Tapi khataman bagaimana? Ketika tulisan ke-41 dibacakan, semua teman-teman Markesot sudah sepenuhnya tertidur lelap. Khataman dengan siapa, sedangkan 40 orang itu semua nyenyak dan mengorok.

Lho, jadi tulisan ke-41 tadi siapa yang membaca? Kalau semuanya tidur, kemungkinan yang membacanya tinggal Markesot, orang ke-41. Jadi satu-satunya jalan: bertanyalah kepada Markesot.

Tapi apa ada yang tahu Markesot? Memangnya siapa dia itu? Di mana tempat tinggalnya? Apa identitasnya? Keturunan siapa? Atau tak usah jauh-jauh cari sejarahnya. Memahami kata-katanya saja susah bagi kebanyakan orang. Mana mungkin bisa menemukan manusia-Markesot?

Markesot jelas dulu seorang pendongeng. Sekarang jangan-jangan sesungguhnya ia adalah dongeng itu sendiri. Jangan-jangan Markesot adalah tokoh di dalam dongeng yang didongengkan oleh si Dongeng itu sendiri.

***
Yang salah memang Markesot sendiri, yang sejak kecil hidup tidak jelas. Waktu kanak-kanak hingga hampir dewasa di desanya dulu tiap malam Markesot berada, tinggal, bersembahyang, mengaji dan tidur, di Langgar-nya Wak Mad.

Sebenarnya tidak persis seperti itu. Markesot tidak pernah tampak duduk berjajar dengan anak-anak lainnya menghadap dampar atau bangku rendah menghadap ke Al-Quran. Setiap waktu mengaji, Markesot menghilang. Aslinya ya cuma melarikan diri. Sembunyi di luar tembok dekat jendela.

Kalau ada yang bertanya Markesot mengaku sedang menyimak anak-anak mengaji dari kejauhan.
Padahal memang pemalas. Atau tidak berbakat mengaji. Atau rendah diri. Atau tidak berselera. Atau entah apa. Yang jelas kalau semua sudah selesai ngaji selepas Isya, sesudah anak-anak bermain gobak sodor, jumpritan, jenthik atau kekehan: baru dia nongol.

Agak aneh bahwa Wak Mad, kiai dusun itu, tatkala semua anak-anak mengaji nderes, tidak pernah menegur atau menanyakan di mana Markesot. Termasuk kalau beliau berjalan naik Langgar menuju Imaman, beliau tak pernah peduli ada Markesot atau tidak. Padahal kata banyak orang, Wak Mad dan Markesot itu ber-nasab sama, entah di mana posisi antara mereka di susunan pohon anak-turun dari nenek-moyang mereka.

Mungkin Wak mad diam-diam memperhatikan bahwa Markesot disukai oleh teman-temannya di Langgar. Terutama karena kebiasaannya untuk mendongeng, menuturkan dongeng-dongeng, menjelang semua anak-anak tidur berjajar di tikar dalam Langgar setiap malam. Wak Mad mungkin diam-diam menghargai manfaat Markesot atas teman-temannya dan semua penghuni Langgar karena dongeng-dongengnya.

Wak Mad kayaknya tidak tahu bahwa sering-seringnya anak-anak di Langgar itu semua tertidur sebelum dongeng Markesot selesai.

Padahal inti dongeng adalah ujungnya. Ditambah resonansi berpikir dan imajinasi sesudahnya. Sebagaimana Wayang Kulit, ujungnya adalah munculnya Wayang Golek: golekono, golekono, carilah maknanya, carilah nilai dan hikmahnya.

Mungkin pengalaman anak-anak tertidur sebelum tuntasnya kisah itu yang menyebabkan Markesot dendam diam-diam. Sehingga sangat suka menyebarkan teka-teki, melemparkan sesuatu yang tidak jelas, yang posisinya adalah pertanyaan-pertanyaan, godaan-godaan, yang sama sekali tidak disertai gejala, pertanda atau pintu untuk menemukan jawabannya.

***
Memang semua kisah yang didongengkan selalu mengandung muatan keteladanan akhlak yang baik, kemuliaan manusia, contoh daya juang, keindahan silaturahmi, bercahayanya kebersamaan kemanusiaan dan bermacam-macam lagi. Dongeng tidak kalah dari pelajaran Sekolah. Dari memori dongeng-dongeng banyak manusia berkembang menjadi pemimpin yang baik, setidak-tidaknya menjadi manusia yang memiliki kebijaksanaan dan ilmu hikmah, yang sangat menjadi dasar bagi setiap langkah dan keputusan yang diambilnya.

Sampai kemudian tiba era modern yang memenjarakan dongeng di dalam pemahaman yang merendahkannya.

Dongeng dibedakan dengan kenyataan. Di dalam Ilmu Sejarah misalnya, yang fakta adalah yang diungkapkan oleh orang Sekolahan, dengan berbagai alasan metodologisnya yang disebut ilmiah.

Sedangkan dongeng, Babat, kisah-kisah yang metodologi modern buta matanya untuk sanggup melihat dan memahaminya, disebut khayalan atau reka-reka yang sebenarnya tidak pernah ada.

Sejak kanak-kanak Markesot sering tertawa sendiri, “Hahaha, khayalan yang tidak pernah ada… seolah-olah mereka pernah ada…seakan-akan ada yang benar-benar ada…”

Ketika mulai dewasa Markesot menjelaskan bahwa direndahkannya dongeng itu merupakan salah cara untuk memisahkan bangsa kita dari sejarahnya. Menghapus masa silamnya. Mengubur peradaban yang pernah dicapai oleh para leluhur. Sehingga bangsa kita menjadi kosong pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Berikutnya bangsa kita menjadi tidak percaya diri. Dengan kata lain, bangsa kita menjadi tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bisa dibanggakan di dalam sejarah nenek-moyangnya.

Maka dijajahlah bangsa kita dengan semena-mena. Bangsa kita, melalui kurikulum pendidikan Sekolah dan Universitasnya, melalui media massa, melalui jalur informasi apa saja, percaya bahwa kebesaran pernah diraih oleh tiga peradaban besar: Mesir kuno, Yunani kuno dan Cina kuno. Adapun bangsa kita sendiri sejak dahulu kala adalah budak-budak jajahan bangsa lain.

Bangsa kita dibikinkan Negara, padahal sesungguhnya itu bentuk penjajahan yang sangat dikendalikan dari luar. Bahkan kaum cerdik pandai sangat pintar merendahkan bangsanya sendiri, menyimpulkan bahwa Ibu-Bapak mereka adalah orang-orang bodoh karena tidak pernah bersekolah seperti mereka.

Bangsa kita adalah bangsa yang tidak percaya diri, tetapi sombong dalam kerendah-diriannya, dan sangat bangga bahwa mereka rendah diri. Bangsa kita marah kalau ada yang bilang bahwa mereka hebat, karena yang hebat haruslah bangsa-bangsa yang bukan mereka.

***
Itu kata Markesot. Bahasa jelasnya: dongeng Markesot. Siapa yang percaya?

Markesot selalu bersikap pesimis dan berpikir negatif. Kenapa teman-temannya itu setia kepadanya?

https://www.caknun.com/2016/rendah-diri-dan-sombong/

Foto : Koleksi Suyadi Jossrmart.com

Daur I No.042 Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW


Daur-I • 42

Mr. VVVVVIP, Muhammad SAW

Khatam sudah 41 tulisan dibacakan. Cocoknya sekarang “khataman”.

Tapi sebentar. Kok 41 tho? Dulu di awal katanya 33, satuan angka populer terutama dalam dunia wirid. Kemudian berubah jadi 40. Apakah itu disesuaikan dengan “jagat” Patangpuluhan? “Mistik” 40-an? Akhirnya malah jadi 41. Dari khazanah apa ini 41?

Tanpa memperlihatkan kepada 40 sahabat-sahabatnya, aslinya Markesot sangat kelelahan dengan 41 tulisan itu. Legalah sekarang. Fajar semakin mempertipis kegelapannya. Pagi segera tiba. Kelelahan itu membuat Markesot menguras ruang kepalanya, lantas mengisinya dengan hal-hal yang enteng.
Enteng gimana misalnya, Sot? Dongeng anak-anak. Yes. Dongeng anak-anak. Seakan diperintah, berpuluh-puluh dongeng langsung mengalir masuk ke dalam pikiran Markesot. Ia tersenyum-senyum sendiri, tapi ia tahan agar tak kelihatan.

Memang Markesot dulunya adalah seorang pendongeng.

Pernah dulu sebelum zaman Patangpuluhan ia mendongengkan kisah, atau mengisahkan dongeng, terserahlah mana yang tepat, tentang Joko Lanjaran. Awalnya seolah ada kemiripan dengan Joko Bodho, tapi sangat berbeda.

Sama-sama disuruh Simboknya pergi ke pasar untuk membeli kacang, juga sama-sama membeli bijihnya. Tapi si Bodho hanya membeli 1 kacang, sedangkan si Lanjaran memborong 41 bijih kacang.

Bodho dimarahi Simboknya kok cuma beli sebijih kacang. Kemudian dibuang di kebun belakang. Ternyata langsung tumbuh, memanjang dengan sangat cepat menembus langit. Si Bodho memanjatnya. Ternyata sulur kacang yang memanjang ke langit itu berakhir di sebuah taman sangat indah. Ternyata taman itu bagian dari sebuah Kerajaan Dewa-Dewi.

Si Bodho terpana tapi juga bengong. Ketika dengan wajah bodoh ia menoleh ke kanan kiri kemudian memandang semua arah, mendadak di belakangnya muncul seorang Dewi yang sangat cantik jelita. Pastilah si Bodho tidak sanggup menggambarkan tingkat keindahan yang ia tidak pernah menjumpai sebelumnya.

Dan ternyata Sang Dewi itu melamarnya. Menggandeng tangannya, mengajak menemui Raja Dewata dan Permaisuri, yakni Bapak dan Ibunya. Singkat kata beberapa saat kemudian Joko Bodho dilantik menjadi Putra Mahkota di Keraton Kahyangan.

***
Siapapun yang mendongengkan kisah ini biasanya mengakhiri dengan sejumlah pemaknaan dan hikmah. Misalnya bahwa manusia tidak boleh merendahkan orang bodoh. Karena sebodoh apapun, seseorang akan berangkat ke masa depan dengan nasibnya. Dan yang disebut nasib ini tidak memiliki kewajiban untuk setia atau menuruti pemikiran dan rancangan manusia. Nasib adalah sebuah rahasia yang asal usulnya dari langit.

Oleh penguasa langit, kebodohan manusia bisa dikawinkan dengan nasib yang indah. Sementara orang pandai bisa saja dikawinkan justru dengan nasib yang buruk dan berat. Para pendongeng atau penutur kisah biasanya menyimpulkan bahwa jarak antara nasib dengan kepandaian sangat jauh dibanding jarak antara nasib dengan kejujuran.

Adapun siapa penguasa langit yang menggenggam hak mutlak untuk menentukan nasib manusia, bergantung kepada pengenalan manusia di bumi atas entah siapa di langit sana. Pengenalan itu bisa melalui informasi yang didapatkan dari pengalaman peradaban manusia berabad-abad. Bisa diperoleh dari penelitian dunia batin. Bisa diambil dari informasi Agama. Bahkan bisa juga dipetik dari kemerdekaan berkhayal.

Ada juga pemaknaan yang sifatnya mempertanyakan dan mengkritik. Misalnya Joko Bodho adalah lambang keputus-asaan rakyat kecil, yang selama hidup bergenerasi-generasi selalu diperdaya oleh orang-orang pandai. Selalu dikibuli. Dijadikan alas kaki. Diinjak. Dimanfaatkan ketika diperlukan, kemudian dibuang ketika sudah tidak produktif sebagai alat kepentingan orang pandai.

Maka si Bodho adalah figur eskapistik. Tokoh fiktif. Produk khayal orang-orang yang kalah. Semua pemaknaan dan hikmah itu beredar dan berputar-putar terus melewati rentang waktu dan mengendarai kurun demi kurun. Sampai kemudian tiba zaman di mana seluruh faktor itu: Joko Bodho, kacang, bijih, Dewi, kahyangan, nasib, penguasa langit, rakyat kecil, dan semua yang terkandung dalam bangunan kisah dan dongeng itu — diletakkan di tataran paling bawah, bahkan dipendam, dikubur, sesekali diingat dengan ejekan dan pikiran yang merendahkan.

***
Bisa jadi karena itu maka Markesot tidak pernah menuturkan kisah Joko Bodho, melainkan Joko Lanjaran. Tentu banyak lagi kisah-kisah lain: Kinjeng Dom, Thok-thok Kerot, Kasan Kusen, Rojo Tikus, Joko Kendhil, Man Dolin, dan banyak lagi.

Adapun Joko Lanjaran pulang dari pasar membawa 41 bijih kacang. Sampai di rumah, Simboknya tidak ada. Entah ke mana, mungkin sedang membantu nutu pari di salah satu rumah tetangga. Ketika Si Lanjaran berjalan sekitar rumah mencari Simboknya, kakinya terantuk tanah brongkalan. Ia terjatuh, bungkusan bijih kacangnya tumpah ke tanah.

Sebagaimana dalam kisah Joko Bodho, bijih kacang itu langsung bersemi dan tumbuh. Tentu lebih teateral, karena jumlahnya 41. Si Lanjaran terpana, tapi juga panik. Melihat sulur-sulur kacang begitu banyaknya menjulur naik ke atas, menuju angkasa, menggapai langit, dengan pergerakan yang sangat cepat. Si Lanjaran melompat ke salah satu sulur. Dan tanpa memanjat ia terikut pergerakannya naik, terus naik.

Tak pernah terbayangkan si Mas Lanjaran ini akan terbang sangat tinggi melewati seluruh hamparan galaksi-galaksi, sehingga tiba di langit lapis dua. Pergerakan kacang tak berhenti. Tapi ketika menuju lapis langit tiba, Si Lanjaran melihat bahwa yang naik bersamanya tinggal 31 sulur. Yang 11 berhenti di langit lapis dua. Seterusnya Si Lanjaran melihat lagi tanpa mengerti maknanya: tinggal 21 tatkala akan menyentuh langit lapis tiga. Kemudian tinggal 11 menjelang langit 4, dan tinggal sulur kacang yang ia naiki sendiri naik hampir mencapai langit lapis lima.

Kabarnya ada tujuh lapisan langit. Berarti masih ada dua langit lagi. Beberapa saat Si Lanjarang menatap ke wilayah yang diperkirakannya menuju arah lapis langit yang keenam dan ketujuh.

Kemudian ia melihat dirinya sendiri. Menatap kakinya, sehingga tampaklah ruang maha luas yang tadi dilewatinya. Si Lanjaran merasa ngeri. Sangat ngeri. Ia sendirian di tempat yang ia sama sekali tidak paham dan tak pernah ia mimpikan atau bayangkan. Maka mendadak Si Lanjaran pingsan.

“Karena Joko Lanjaran kehilangan kesadaran, maka terpaksa saya gantikan”, kata Markesot melanjutkan kisah dongengnya.

Ketika itu salah seorang yang mendengarkan mengejar, “Lantas bagaimana, Cak Sot? Sampeyan terus ke mana? Kan Sampeyan gandholan sulur kacang yang sudah tidak bergerak lagi”

Markesot menjawab, “Ya saya tetap di sini sama kamu”

“Lho, katanya di langit kelima”

“Untuk sampai ke langit berapapun kamu tidak harus pergi ke mana-mana, cukup masuk ke dalam dirimu sendiri. Karena seluruh jagat raya adalah bagian dari dirimu”

“Lho mosok yang sangat besar merupakan bagian dari yang sangat kecil”

“Yang kecil itu benda. Kalau kamu hanya badan, darah, daging, tulang, kamu kecil. Maka Tuhan memuaikan manusia dengan nafsu. Kemudian Tuhan kasih yang lebih besar dari pemuaian nafsu sehingga mampu menguasainya, yaitu kerjasama antara hatimu dengan akalmu. Sesudah itu kamu ditawari oleh Tuhan untuk mengisi hatimu dengan iman dan mengolah akalmu dengan kreativitas yang berupa mujahadah, ijtihad dan jihad. Kalau kamu berhasil dengan perjuangan iman dan jihad-ijtihad-mujahadah dalam kehidupanmu, maka Tuhan menghormatimu dengan anugerah karomah.

Lima kan jumlahnya? Para Nabi, Rasul dan kekasih-kekasih rahasia Allah dibukakan langit lapis enam. Sedangkan yang mendapat undangan khusus ke lapis tujuh adalah yang termulia dari ahsani-taqwim, yakni Mr. VVVVVIP Muhammad SAW”.


https://www.caknun.com/2016/mr-vvvvvip-muhammad-saw/

Foto : Koleksi Suyadi Jossmart.com


Daur I No.041 Al-Browsingul Karim

 

Daur-I • 41

Al-Browsingul Karim

Anak cucuku dan para jm sudah tahu bahwa ini meja dan itu kursi. Tetapi engkau pasti juga memahami bahwa sebutan meja dan kursi itu tidak berlaku bagi orang lain di luar lingkaran perjanjian kelompokmu. Dan yang paling pasti nama meja dan kursi itu tidak berlaku bagi meja dan kursi itu sendiri.

Apakah engkau tahu? Apa yang kau ketahui? Apakah engkau benar-benar tahu? Seberapa kadar tahu-mu? Bagaimana menilai apakah engkau benar-benar tahu atau sebenarnya yang kau pikir tahu itu ternyata tak tahu? Kalau engkau merasa tahu, apakah itu juga berarti engkau yakin bahwa engkau tahu?

Apakah bagi yang bukan dirimu engkau benar-benar tahu? Ataukah diam-diam sebagian dirimu merasa tahu tetapi sebagian yang lain menuduh sebenarnya engkau tahu? Tahukah engkau bahwa hubungan antara tahu dengan dirimu ini bisa kita salami dan temukan detailnya, micro nanonya, sampai tak terhingga?

Dari mana engkau tahu? Dari siapa engkau berubah dari tidak tahu menjadi tahu? Apakah benar kau bisa percaya siapapun atau apapun yang memberimu tahu? Apakah kau tahu tentang yang memberimu tahu sehingga kau yakini tahu-mu itu sebagai sungguh-sungguh tahu? Bagaimana kalau tahu-mu itu hasil dari kebohongan orang yang tahu tidak sebagaimana yang kau tahu? Atau tahu-mu itu produk dari dusta orang yang memberimu tahu?

Anak cucuku dan para jm, ini pertanyaan bisa berkembang secara deret hitung dan bisa membengkak secara deret ukur. Tahukah engkau bahwa tahu-mu bisa jadi merupakan bagian yang paling rendah dan rentan dari tidak tahu-mu?

***

Anak cucuku dan para jm jangan omong seperti sahabat-sahabatmu yang kurang pergaulan bahwa “kalimat-kalimat sangat filosofis…” — Nanti malah timbul masalah dan pertengkaran antara engkau dengan kata filsafat, filosofis, falsafi, failasuf.

Baiklah engkau mendarat di bumi, memilih contoh yang bersahaja. Engkau dikasih tahu oleh Gurumu tentang sesuatu. Apakah Gurumu itu tahu karena dirinya sendiri atau ia juga dikasih tahu oleh Gurunya sebagaimana ia mengasih-tahumu? Gurunya Gurumu itu dikasih tahu oleh siapa? Oleh Gurunya juga?

Kalau nasab tahu-mu itu kita gambar, kau tahu dikasih tahu oleh Gurumu yang dikasih tahu oleh Gurunya yang dikasih tahu oleh Gurunya, oleh Gurunya, Gurunya, Gurunya, sampai berapa jauh dan panjang? Seberapa mungkin terjadi distorsi, pembiasan, pembengkokan, penyelewengan bahkan pembalikan dari tahu-nya Guru yang jauh di atas Gurumu itu dengan tahu-mu?

Itu baru soal tahu. Belum tahap paham, mengerti, bisa dan mau hingga ikhlas. Anak cucuku dan para jm hidup di dalam dan bersama masyarakat dunia yang sudah menggenggam pemahaman, sudah memiliki pengertian, sudah melatih kebisaan, bahkan sudah sangat melakukan baik ikhlas atau tak ikhlas — namun sesungguhnya masih belum selesai persoalannya dengan soal tahu.

Tentu saja hidup ini tidak menuntut sebegitu detail, jernih dan mendalam atas apapun. Akan tetapi anak cucuku dan para jm akan lebih terang benderang menempuh masa depan apabila mengerti bahwa engkau semua ini merupakan bagian dari hutan belantara ketidaktahuan dan hujan deras ketidakpahaman.
***
Baiklah anak cucuku dan para jm ambil jalan pintas saja: engkau sedang memasuki dunia maya?
Dari dunia yang engkau sendiri menyebutnya “maya” itulah engkau mengambil “tahu” tentang segala sesuatu yang kau yakini tidak “maya”. Apakah engkau tahu siapa yang memberimu tahu itu di dunia maya? Bagaimana caramu meneliti bahwa yang memberimu tahu itu bisa engkau percaya untuk mengubahmu dari tidak tahu ke tahu?

Mungkin sejumlah data teknis yang kasat mata dan bisa diverifikasi secara wadag dan akademis, tidak sedemikian besar bahayanya bagimu. Tetapi niat di balik penyebaran data itu, pamrih, kepentingan, subversi, provokasi dan berbagai kemungkinan politik dan penguasaan, di belakang sesuatu yang engkau yakini bahwa engkau tahu itu — seberapa tahukah engkau?

Engkau masuk dan bangga menjadi bagian dari semesta maya. Apakah di dalamnya engkau subyek ataukah obyek? Apakah tahu-mu dari dunia maya itu berposisi jernih sebagai pengetahuan itu sendiri, ataukah merupakan bagian dari suatu susunan irama informasi yang di terminal tertentu nanti engkau baru tahu bahwa engkau sedang dijebak?

Engkau bangga karena engkau merasa menjadi pelaku Era Informasi dan Komunikasi? Apakah engkau berposisi sebagai pengambil keputusan tentang nilai-nilai yang disebarkan? Ataukah engkau adalah narapidana yang dikurung di dalam sel-sel yang sebenarnya tertutup, tapi seolah-oleh penuh keterbukaan oleh penyebaran nilai-nilai?

Engkau merasa sebagai bagian dari suatu pergaulan global internasional, padahal menu makanan minuman informasi yang tersedia di sel-sel penjaramu direncanakan dengan seksama, strategis dan terukur, dan engkau mengenyamnya dengan lahap dan penuh kebanggaan?

Ataukah engkau sebenarnya adalah pasien yang dipersilahkan minum “pil” sehari sepuluh kali, yang engkau tak benar-benar mengerti apakah yang engkau minum itu alat penyembuhan ataukah racun yang membunuh sejumlah faktor mendasar dari otak, akal dan jiwamu?

Kalau data dan fakta tentang labirin dan detail ini itu di dunia, sepanjang engkau memegang metodologi selengkapnya untuk memverifikasi, memfilter dan menemukan tetesan esensial dan substansialnya, tentu sangat berguna. Tetapi bagaimana kalau yang kau makan dan minum di sel-sel itu diam-diam menanamkan nilai ke dalam mesin berpikirmu? Ke jalannya darah nilai-nilai kehidupanmu?

Merasukkan benih-benih baru ke tanah dan akar kejiwaanmu? Atau minimal mengikis pepohonan nilai yang seharusnya jangan sampai terkikis, dan menumbuhkan tanaman prinsip dan pola pandangan yang semestinya jangan sampai tumbuh kalau engkau ingin tidak terjebak oleh kehancuran di hari esokmu?

***
Bukankah engkau sedang disandera di tengah kegelapan hutan belantara dan diguyur oleh hujan sangat deras yang engkau kewalahan untuk tahu? Apalagi paham? Apalagi mengerti? Apalagi bisa atau mampu mengantisipasinya? Apalagi ikhlas untuk sepanjang hidup memperjuangkannya?

Jika anak cucuku dan para jm dikepung oleh kegelapan, engkau harus berlatih membangkitkan cahaya dari dirimu sendiri. Jika ditindih oleh kepalsuan, engkau tak berhenti mendekatkan diri agar disahabati oleh Yang Sejati. Jika terbuntu langkah dan tak berdaya, engkau tidak pernah memisahkan diri dari Yang Maha Pembuka dan Maha Berdaya.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
14 Maret 2016

https://www.caknun.com/2016/al-browsingul-karim/
 

Daur I No.040 Ta'Dib dan kepala Dinas Tipudaya


Daur-I • 40

Ta`dib dan Kepala Dinas Tipudaya

Wajah Markesot tampak memancarkan kegairahan yang berbeda, ketika dan sesudah mendengar kisah tentang Rombongan-Alkisah dan Bapak Menuntun Anak berjalan lurus ke Hajar Aswad.

“Rupanya bukan hanya teman-teman saya ini”, Markesot membisiki dirinya sendiri, “Saya sendiri pun diam-diam lebih siap dan senang kalau ada makanan yang sudah jadi, tinggal mengangakan mulut dan mengenyamnya”.

Bagaimanapun pada setiap orang selalu ada rasa malas kalau dikasih bijinya saja, harus menanam, berjuang menumbuhkan, menyirami, memelihara dan menjaga kesehatan tanaman. Seluruh anak-anak Bangsa dan generasi muda di jaman mutakhir ini dihanyutkan oleh arus yang menanamkan pembiasaan untuk konsumtif, dan sangat sedikit prosentase pembiasaan untuk kreatif.

Pendidikan yang mereka terima sehari-hari, di Sekolah maupun di kehidupan sehari-hari, adalah menelan makanan matang. Bahkan makanan mentah pun sering dipaksakan untuk disuruh telan. Anak-anak Bangsa tidak dibukakan pintu kemungkinan ke hari depan bahwa ada ‘matang’ yang berbeda, ada ‘formula matang’ yang tidak sama dibanding yang pernah ada, ada cakrawala di depan, bukan hanya ada tanah yang dipijak oleh telapak kaki sekarang ini.

Maka Markesot berpendapat, tetap penting membawa anak cucu dan para jm untuk memutari ‘Daurah’, recycling, menjalani langkah ke depan yang kelihatannya lurus namun sebenarnya berkeliling. Berkeliling tidak hanya kanan ke kiri atau kiri ke kanan. Melainkan bisa tak terbatas daur arahnya, belakang ke depan dan depan ke belakang, termasuk menapaki derajat dan lintang arah yang tak terbatas jumlahnya.

“Maka biar saja mereka menulis, membaca dan mendengarkan sesuatu yang membuat mereka merasa sedang makan keremangan dan menelan kegelapan”, Markesot berpikir, “kalau perlu lebih lama dan lebih panjang mereka merasakan itu. Karena anak cucu dan jape-methe menjadi anak cucu dan jape-methe justru karena mereka bukan “bukan anak cucu dan jape-methe”. Sebab otak mereka dianugerahi ‘aql oleh Allah. Otak mereka bukan otak ayam atau kambing. Otak mereka berwujud gumpalan misteri dengan puzzling milyaran urat syaraf, bukan bentang lulang lembu atau kerbau”.

Kalau nanti mereka tidur ngorok lagi, Markesot akan tidak hanya meledakkan cambuk, tapi mungkin akan mengangkat rumah mereka dipindahkan ke tempat yang jauh, sehingga teman-temannya terbangun di bawah atap langit.
***
Kita sedang basah kuyup oleh hujan deras, sehingga sebelum duduk bersama bercengkerama dan belajar melanjutkan hidup — diperlukan mencuci sejumlah pakaian dulu, menyeterika beberapa lainnya, kemudian berpikir ulang untuk memilih baju yang mana yang akan kita pakai, sesudah mengalami perubahan pandangan-pandangan.

Sudah jelas semakin banyak kemudlaratan zaman yang diawali dengan kata, sehingga untuk mengatasinya kita perlu berunding ulang dengan setiap kata, setiap makna dan nilai. Yang seolah-olah paling gampang adalah kita bersama-sama menyingkir ke daerah yang sejauh mungkin dari peradaban rimba yang sedang berlangsung, mencoba babat alas kembali, menata tanah dan tetanaman lagi, memperbanyak kerja dan berpuasa dari kata-kata yang kita angkut dari peradaban yang kita tinggalkan.

Akan tetapi keputusan menyingkir secara fisik dan teritorial semacam itu adalah sikap yang kurang jantan, tidak mencerminkan ketangguhan, dan merugi secara pencarian ilmu. Maka kita “lompat masuk” atau sekurang-kurangnya tidak “lompat keluar” dari wilayah kehidupan yang sangat membebani dan menyiksa. Kita terus terjang hujan deras dan terus mengarungi rimba belantara, tetapi tetap dengan tak berhenti memperbarui diri kita, pandangan hidup kita, pertimbangan-pertimbangan kita secara akal, mental, emosi dan rohani.

***
Sekarang bahkan kutambahkan kata-kata baru buat anak cucuku dan para jm dari Padhangmbulan Jombang. Itu pun belum akan kukemukakan secara menyeluruh, hanya mengambil penggalannya yang kita perlukan pada tahap ini.

Terhadap para Guru dan siswa di Sekolah Padhangmbulan, diterapkan halaqah ilmu kehidupan di luar jam-jam pelajaran, yang bernama Ta’dib. Ini suatu proses yang terbalik dari yang bisa dilakukan dan dialami oleh mereka yang mengajar maupun yang belajar.

Para Guru kulakan pengetahuan, atau mengambil rangsum dari Pusat Pendidikan Nasional satu dua kilogram bahan yang disebut ilmu, kemudian disalurkan secara bertahap kepada murid. Para siswa, puluhan siswa di seantero Negeri, adalah ember yang dituangi barang-barang, cairan yang bernama ilmu pengetahuan, yang dipersilahkan untuk langsung diminum, ditelan, dipercaya, dimasukkan ke dalam aliran darah, dan menjadi bagian terpenting dari kehidupan mereka.

Dalam proses Ta’dib mereka tidak dituangi, tapi justru diproses untuk kosong kembali, baru kemudian digali kemungkinan-kemungkinan dari dalam diri mereka masing-masing. Kemungkinan itu bisa bakat, kecenderungan, potensi, susunan faktor-faktor yang ditakdirkan Tuhan pada diri setiap orang. Bisa juga sisa-sisa ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang sudah mengendap, sudah mengalami sublimasi di dalam proses hidup mereka.

Di dalam proses penggalian, para siswa diajak mengembarai berbagai kemungkinan memahami, menafsirkan, menganalisis, mendalami, menghayati, sekaligus membiasakan diri bersentuhan dengan berbagai macam output atau hasil multi-pemahaman itu.

Satu-satunya yang kita izinkan untuk dituangkan adalah informasi dan bahan-bahan dari Tuhan yang terpapar di Kitab Suci. Itu pun dibarengi dengan kejernihan memahami dan ketahanan mental untuk tidak geram terhadap hasil pemahaman yang tidak sama atau apalagi yang bertentangan.

***
Ta’dib itu, supaya tidak menjadi kelas pembelajaran bahasa, maksudnya “pem-beradab-an”. Proses pembelajaran, tidak harus pengajaran, untuk menjadi manusia beradab.

Manusia melangkahkan hidupnya harus dengan seluruh kelengkapannya. Kelengkapan itupun bukan barang jadi dan tidak pernh final. Ada proses perapuhan, tahap pengelupasan, daun menguning dan tumbuh semai baru yang hijau, tahap kematian-kematian dalam waktu yang bersamaan dengan itu muncul kelahiran-kelahiran baru.

Maka secara irama dan tahap, Ta’dib dibangun dan dijalani melalui tahap Ta’lim, dari tidak atau belum tahu menjadi tahu. Tafhim, dari belum paham menjadi paham. Ta’rif, tahu, paham tapi belum benar-benar mengerti, sehingga memerlukan tahap ini. Kemudian Ta’mil atau Taf‘il, banyak orang tahu dan paham, bahkan berhasil mengerti, tapi belum tentu bisa atau mampu melakukannya. Dan puncaknya Takhlis. Tahu paham mengerti dan bisa, tapi tidak ikhlas mengerjakannya.

Ternyata di antara tahapan-tahapan itu terkandung seluruh persyaratan segala ilmu dan pengetahuan, yang tradisional maupun yang modern, yang bumi maupun langit, yang sekolahan maupun yang pasar, yang metropolitan maupun yang sawah ladang. Di dalam kemenyeluruhan Ta’dib kehidupan, tidak ada satu hal pun yang tidak berkaitan dengan hal yang lain. Sebab akibat, kausalitas, hulu hilir, pangkal ujung, dunia akhirat, semua bersambungan satu sama lain.

Dan ternyata pula, sekedar menempuh jarak antara tidak atau belum tahu menuju tahu saja, setiap anak manusia sudah tercampak ke dalam hutan belantara dan diguyur hujan deras hampir tiada taranya. Ternyata seluruh persoalan peradaban, kebudayaan, politik, ummat, masyarakat, rakyat, negara, golongan, kelompok, klub, juga individu per orang, kasusnya adalah ketidaklulusan ujian di antara tidak tahu ke tahu.

Anak cucuku dan para jm sebaiknya mencatat, bahwa yang sesungguhnya terjadi tidak hanya kasus tidak lulus ujian untuk tahu, tetapi sesungguhnya kehidupan di dunia ini dikuasai oleh sekelompok dan sejaringan penjajah penipu pendusta yang salah satu program utamanya adalah membuat sebanyak mungkin penduduk dunia untuk jangan sampai tahu.

Variasinya bukan hanya jangan sampai tahu, tapi juga tahu terbatas saja, tahu yang sebenarnya bukan tahu, seakan-akan tahu, ketidaktahuan atas tahu dan tidak tahu atas ketidaktahuan.

Bingung? Berhentilah membaca. Sobeklah kertas dan buang tulisan ini. Berhentilah mencari pengetahuan tentang hidupmu sendiri. Bersegera mendaftarlah kepada para penguasa pendusta penjajah penipu, baik untuk terus ditipu asal dikasih makan, atau engkau akan naik pangkat menjadi bagian dari sistem dusta. Syukur engkau diangkat menjadi Kepala Dinas Tipudaya.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
13 Maret 2016

https://www.caknun.com/2016/tadib-dan-kepala-dinas-tipudaya/
Foto : Koleksi Suyadi Jossmart.com



Daur I No.039 Hujan Deras mengelilingi Ka'Bah

 

Daur-I • 39

Hujan Deras Mengelilingi Ka’bah

Kita masih merenungi hutan belantara dan hujan deras, dan untuk anak cucuku dan para jm kutuliskan kisah kecil seorang Bapak mengantarkan anaknya berjalan menuju Hajar Aswad.

Syarat membacanya adalah teguhnya pengetahuan dan keyakinan bahwa tidak ada kekuatan yang benar-benar kekuatan, dan tidak ada kekuasaan yang sungguh-sungguh kekuasaan selain milik Tuhan.
Tidak ada apapun dalam kehidupan ini yang berlaku, terjadi dan berlangsung, selain yang direncanakan oleh Allah, diizinkan, dibiarkan atau disengaja oleh Tuhan untuk maksud-maksud yang mungkin masih dirahasiakan.

Tidak ada mukjizat, tidak ada karomah, tidak ada ma’unah atau fadhilah apapun sepanjang sejarah dan di zaman apapun kecuali yang sejatinya milik-Nya namun sesekali dipinjamkan oleh-Nya kepada hamba-Nya untuk kemauan-kemauan yang para makhluk dipersilahkan mencari dan menelusurinya, dalam jangka waktu hingga hari kiamat.

Tidak ada Nabi Muhammad membelah bulan kecuali Tuhanlah yang membelah. Tidak ada di tangan Nabi Musa tongkat sakti melainkan Tuhanlah pencipta dan pemilik sejati tongkat yang Ia muati kesaktian.

Tidak ada Nabi Isa menghidupkan orang mati kecuali Tuhan sendiri satu-satunya yang mampu dan berhak untuk menghidupkan dan mematikan.

Tidak ada Nabi Sulaiman bercengkerama dengan semut, semua hewan, Jin dan Malaikat, kecuali Tuhanlah yang mempersambungkan komunikasi di antara mereka. Tidak ada Nabi Yusuf yang wajahnya sangat ganteng kecuali keindahan wajah Allah sendiri yang diusapkan ke muka Nabi Yusuf.

***
Tidak ada Bapak yang sanggup menyembelih anaknya dan tidak ada anak yang mampu ikhlas disembelih oleh Bapaknya, kecuali Tuhan sendiri yang menganugerahkan kekuatan hati kepada Nabi Ibrahim dan meniupkan keikhlasan ke dalam jiwa Nabi Ismail.

Pun tidak ada penguasa di bidang apapun di muka bumi yang semena-mena menipu rakyatnya, kecuali Tuhan memberinya tunda-waktu dengan maksud rakyat harus menelitinya dengan kecerdasan dan kepekaan.

Tidak ada Pemerintah, Kaisar, Jenderal, Raja, Presiden, Konglomerat dan siapapun yang sejati menguasai dunia, kecuali Tuhan sedang memegang kedua kaki mereka atau mencengkeram leher mereka sampai waktu yang Ia tentukan untuk membenturkan mereka ke tembok kebenaran-Nya.
Tidak ada kegagahan yang sejati dan abadi, tidak ada kehebatan yang sejati dan abadi, tidak ada kesaktian keampuhan kemegahan yang sejati dan abadi, kecuali Tuhan meminjamkannya untuk menguji mereka yang diuji.

Tidak ada yang kelihatan dan tak kelihatan, tidak ada yang sepi atau yang terdengar, tidak ada yang terang benderang atau yang tersembunyi, tidak ada yang transparan atau yang rahasia, tidak ada yang wujud atau yang gaib, bahkan tidak apapun dan tidak ada tiada apapun, kecuali Tuhan pemilik-Nya, pencipta-Nya dan distributor-Nya pada skala ruang dan jangka waktu yang secara absolut dirancang oleh-Nya.
***
Seorang Bapak menyaksikan pemuda putranya berjalan mengitari Ka’bah di tengah jejalan ribuan orang yang saling mendesak satu sama lain. Tatkala muncul tujuan untuk berjalan menuju Hajar Aswad, muncul pulalah tindakan untuk menyingkirkan, membelah, mempertandingkan kekuatan kaki, tangan dan sikut.

Dan putra si Bapak itu gagal mencapai Hajar Aswad. Ia terseret arus kembali melewati wilayah batu hitam. Pada putaran berikutnya ia berusaha lagi dan terseret lagi. Demikian beberapa putaran ia berjuang dan tetap tak berhasil membawa badannya mendekat ke Hajar Aswad.

Si Bapak menghampirinya, menuntun tangannya, mengajak minggir ke tepian area seputar Ka’bah, semacam batas yang di atasnya melingkar terap-terap Masjidil Haram. Si anak diajak duduk di lantai, menghela napas panjang melepas lelah. Si Bapak bersila menghadap Ka’bah, menundukkan wajah, tampak membaca-baca entah apa. Kemudian tiba-tiba menggamit putranya, mengajaknya berwudlu kembali, tentu dengan tidak mudah mencapai tempat wudlu.

Kemudian kembali ke tepian di mana mereka tadi duduk. Si anak dipersilahkan untuk melakukan shalat dua raka’at sambil si Bapak juga melakukan hal yang sama. Setelah shalat si Bapak mengajak anaknya berdiri dan berjalan mengikutinya. Si anak berjalan di belakang Bapaknya.

Si Bapak tidak berjalan dalam arus dan irama ribuan jamaah yang berthawaf. Melainkan dari tepian area seputar Ka’bah itu ia berjalan lurus ke arah Hajar Aswad. Si Bapak berjalan tidak cepat dan tidak lambat. Berjalan biasa saja sebagaimana umumnya orang berjalan. Si Bapak dan anaknya yang berjalan di belakangnya tidak perlu menyesuaikan langkahnya dengan sangat banyak orang yang berjalan ke arah yang bersilangan dengan arah ke Hajar Aswad. Langkah mereka tidak tersendat-sendat karena di depannya banyak orang lewat. Tubuh mereka juga tidak bergeser ke kanan atau kiri atau berhenti sejenak karena menunggu orang-orang yang lewat di depan mereka.

***
Mereka berdua menembus hujan Muthawwifin, ribuan orang yang berjalan mengelilingi Ka’bah. Bukankah jumlah dan kerapatan orang-orang yang berthawaf adalah sejenis hujan deras, meskipun arahnya tidak dari atas ke bawah, melainkan dari kiri ke kanan?

Tapi tidak. Mereka berdua tidak menembus hujan deras Muthawwifin. Mereka tidak berjalan di sela-sela hujan. Mereka tidak memiliki strategi untuk tidak basah oleh guyuran hujan. Mereka tidak memiliki ilmu dan kesaktian untuk menghindari perbenturan dengan ribuan orang yang berjalan silang.

Bapak dan anaknya itu tidak melakukan perjuangan apa-apa kecuali melangkah berjalan saja. Mereka tidak memiliki kemampuan atau kelihaian untuk menghindari tabrakan. Mereka hanya berjalan.

Hanya berjalan. Mereka tidak bertabrakan, berbenturan atau bersenggolan dengan apapun.

Ketika tiba di Hajar Aswad, si Bapak menjulurkan kedua tangannya, memegang batu itu bagian di atas yang biasa dicium oleh jutaan orang. Di antara dua tangan yang menjulur dan berpegangan di batu itu dengan kedua kakinya terdapat ruang yang lapang, dan si Bapak mempersilahkan anaknya untuk bergeser ke ruang itu agar mencium Hajar Aswad.

Si Bapak mengatakan kepada anaknya cukup sebentar saja menciumnya. Kemudian sesudah selesai anaknya mencium, si Bapak dan anaknya diangkat ke belakang entah oleh siapa, dan mereka ditaruh kembali berpijak lantai sekitar tiga meter dari Hajar Aswad.

Sekarang anak cucuku dan para jm mestinya bertambah pengertiannya bahwa di bawah guyuran hujan, Tuhan menyediakan banyak kemungkinan: basah kuyup, basah sedikit, atau tidak basah sama sekali. Terserah-serah Tuhan. Dan jika hujan deras itu berlangsung di alamatmu sekarang, yakni di hutan belantara yang gelap secara keseluruhan dan remang-remang sebagian: toh engkau sudah selalu belajar tidak untuk menunggu atau menagih cahaya dari luar, melainkan berikhtiar memancarkan cahaya dari dalam dirimu sendiri.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
12 Maret 2016

https://www.caknun.com/2016/hujan-deras-mengelilingi-kabah/ 
Foto : Koleksi Suyadi Jossmart.com

Daur I No.038 Bukan Sorga Berakibat Tuhan


Daur-I • 38

Bukan Sorga Berakibat Tuhan

Anak cucuku dan para jm jangan sampai mendramatisir dan menseram-seramkan kisah kecil tentang Rombongan-Alkisah dan hujan. Mereka bukan siapa-siapa selain Salikin, pencari kebenaran Allah, dan ‘Abidin, pelaku pengabdian kepada Allah melalui ibadah kepada-Nya maupun pelayanan kepada sesama makhluk-Nya, tak terbatas hanya kepada manusia.

Anak cucuku dan para jm tidak mengenal kultus, apalagi kepada individu. Hanya mengenal dan mengerjakan pengabdian kepada Tuhan, asal-usul dan tujuan akhir kita semua. Pengabdian dengan cara dan bentuk yang kita patuh kepada ketentuan-Nya. Dan jika ada wilayah muamalah di mana kita dimerdekakan oleh-Nya untuk kreatif membangun dan memformulasikan pengabdian kita, harus tetap waspada tidak sampai menabrak batas syariat-Nya.

Kita semua melayani lantai rumah yang kotor, kita menyapu. Kita melayani piring sehabis dipakai makan, kita pususi. Kita melayani hujan, kita pahami dan ajak berdiskusi. Kita melayani seluruh alam semesta, khususnya bumi yang kita diamanati, dengan landasan dan pedoman menaburkan rahmat bagi mereka semua. Kalau kita tidak mampu bergerak menyebarkan rahmat, minimal kita jadi debu, yang berkohesi dengan trilyunan debu lain, agar manusia bisa punya landasan yang kokoh untuk membangun jalanan, rumah dan gedung-gedung.

Anak cucuku dan para jm hanya ciptaan Tuhan yang rendah di hadapan-Nya. Tinggi atau rendah derajat kita, mulia atau hina martabat kita, tidak kita pedomankan kepada apapun dan siapapun kecuali kepada kemauan-Nya, konsep yang ditata oleh-Nya, nilai dan susunan yang dikelola oleh-Nya. Anak cucuku dan para jm tidak menuding dan menuduh sesamanya. Tidak sibuk menilai kiri kanannya. Tidak menghardik, membunuh atau memusnahkan.

***
Anak cucuku dan para jm selalu belajar dan mempelajari batas-batas pembagian peran antara engkau semua dengan Pencipta. Neraka sangat mengerikan dan kita takuti, tetapi tidak karena takut neraka maka kita tidak melawan Tuhan. Kita tidak mememerangi Tuhan tidak karena apapun selain karena Tuhan itu sendiri, yang hadir ke jiwa, hati dan akal kita melalui berbagai formula tajalli-Nya.

Sorga sangat menggiurkan dan kita idamkan. Namun bukan karena keterpesonaan kepada sorga kita mencintai-Nya. Bukan karena pamrih masuk sorga kita mengabdi kepada-Nya. Sorga dan neraka adalah akibat dari pilihan perilaku kita. Tetapi sorga dan neraka terlalu kecil dan remeh dibanding semesta agung percintaan kita dengan-Nya.

Kita sangat percaya, yakin dan merasa nikmat kepada Tuhan. Bukan kita sangat percaya, yakin merasa nikmat kepada sorga. Tuhan berakibat sorga, bukan sorga berakibat Tuhan. Tuhan mencintai hamba-Nya yang mencintai-Nya maka ditempatkan si hamba itu di sorga. Tidak ada peristiwa hamba Tuhan mencintai sorga maka sorga menempatkannya di Tuhan.

Tuhan menciptakan trilyunan matahari dan benda planet bulat-bulat, tapi tidak diberi akal. Tuhan menciptakan batu-batu dan gunung, pepohonan dan binatang, tanpa anugerah akal. Hanya manusia, maka mereka dikhalifahkan oleh-Nya di bumi, dengan terlebih dahulu ditanam “chips” pada dirinya yang berupa akal.

Akal itu sendiri bukan pikiran bukan otak, tetapi soal ini anak cucuku dan para jm bisa cari waktu yang khusus untuk mendalaminya. Hal akal ini dituturkan dalam konteks bahwa pandangan manusia tentang sorga dan mereka dan apapun yang dialaminya di dunia maupun informasi-informasi dari Tuhan — sangat bergantung pada pengelolaan akal mereka.

***
Mekanisme mesin akal itulah yang memahamkan manusia pada logika tentang segala sesuatu. Tentang dialektika logis. Tentang skala prioritas. Tentang batas segala sesuatu. Tentang matrix wajib sunnah mubah makruh haram. Tentang jangka pendek jangka menengah jangka panjang. Tentang substansial dan parsial. Tentang pokok dan cabang. Tentang tata ruang dan tata waktu. Tentang sangat penting, penting, agak penting, tidak penting. Tentang atas dan bawah. Tentang pohon, dahan, ranting, daun, bunga dan buah. Dan apa saja yang merupakan persyaratan wajib dalam menjalani kekhalifahan.

Kalau ranting dipahami secara pohon, ruwetlah kehidupan. Kalau mahdloh dinilai sebagai muamalah, silang sengkarutlah kehidupan beragama. Kalau kasus lokal tidak diketahui konteks nasional dan latar belakang globalnya, bertengkar-tengkarlah rakyat suatu negara. Kalau tokoh-tokoh ummat manusia tidak mampu memilah antara lautan dengan ombak, antara Kitab Suci dengan tafsir, antara Tuhan dengan berhala, antara api dengan panas, antara gula dengan manis, antara manusia dengan kemanusiaan, antara fungsi dengan robot, dan seribu macam ketidakpahaman yang lain, maka sesungguhnya peradaban sedang bergerak menuju jurang untuk bunuh diri bersama-sama.

Anak cucuku dan para jm aku harapkan tidak bertengkar berdebat ribut riuh rendah tentang sorga dan neraka, tentang Tuhan dan patung, tentang masalah-masalah apapun yang besar-besar, apabila engkau semua belum maksimal menggunakan mesin ilahiyah akalmu.
***
Sedangkan tentang hujan, sebagian dari anak cucuku dan para jm, pengetahuannya tidak pernah berkembang sejak Guru SD dulu mengajarinya. Bahwa hujan adalah air laut yang menguap, kemudian uap itu disapu ke sana kemari semau-mau angin, dan nanti ketika suhu menurun, sel-sel uap itu bergabung satu sama lain berkelompok-kelompok, menyebabkan bobot baru, maka gravitasi menariknya ke bumi, menjadi curah hujan.

Sebagian engkau menyangka bahwa hujan adalah atau hanyalah titik-titik air yang jumlahnya sangat banyak, berjamaah terjun ke bawah dan membasahi bumi. Sebagian engkau membatasi pemahamannya bahwa hujan hanya benda. Engkau tidak mempelajari bahwa hujan mungkin hanya peristiwa ludah. Cairan yang diludahkan. Oleh siapa? Kenapa? Bagaimana? Untuk apa? Untuk siapa?

Kok turun sekarang, tidak tadi atau nanti? Kok di sini, tidak di sana? Kok yang ini basah kuyup, yang itu sedikit basah, yang sana malah kering?

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
11 Maret 2016

 https://www.caknun.com/2016/bukan-sorga-berakibat-tuhan/
Foto : Koleksi Suyadi Jossmart.com

Daur I No.037 Persaudaraan dengan Hijau


Daur-I • 37

Persaudaraan dengan Hujan

Markesot aslinya agak mengantuk juga mendengar beberapa sisa tulisan teman-temannya. Tapi agak bergairah lagi melihat beberapa yang terakhir, karena mulai menyentuh peristiwa yang lebih kongkret dan sehari-hari.

Memang ketika meminta tulisan “untuk anak cucu dan jm” mereka masing-masing, Markesot ada kecolongan bicara “pokoknya total merenung sampai tingkat mati”, atau bahasa lain “mati merenung”, khusus ketika mendalami sesuatu. Akibatnya banyak di antara mereka tidak tahan oleh hasil kerjanya sendiri.

Markesot diam-diam mengkritik dirinya sendiri. “Nggak usah berlebihan nuntut orang. Hidup di jaman ini nggak ngerti apa-apa nggak masalah, asal bisa makan, punya rumah, kendaraan dan bisa menyekolahkan anak. Pinter tidak wajib, ilmu gela-gelo thilang-thileng juga tidak apa-apa, asal dapat laba uang lebih banyak. Bahkan tak punya harga diri juga jalan terus, asal mampu menawar-nawarkan diri, ndusel-ndusel ngrampek-ngrampek mlipir-mlipir ke siapa-siapa yang pegang akses, menjilat-njilat pihak yang dibutuhkan….”

***
Anak cucuku dan para jm sudah mengerti bahwa kalau Tuhan menciptakan alam semesta ini hanya benda atau materi, maka tidak rasional dan tidak adil untuk menuntut orang tidak basah kuyup ketika berjalan di bawah hujan lebat.

Kalau kehidupan ini hanya yang padat dan cair yang tampak oleh mata, maka tidak masuk akal untuk meminta pakaian tetap kering ketika orangnya diguyur hujan deras. Kalau untuk mengkonsep kehidupan ini Tuhan hanya bikin barang satu dua tiga dimensi, maka kehujanan harus basah, kena api harus terbakar dan dipukul harus tergeser atau bahkan harus merasa sakit.

Kalau tidak ada yang seolah tak ada, kalau segala sesuatu indikator kenyataannya hanya panca indera, kalau yang bisa dilihat didengar dan diraba adalah satu-satunya fakta, kalau yang tak terlihat tak terdengar tak teraba volume atau jumlahnya atau ranahnya hanya sangat sedikit dibanding yang terlihat terdengar teraba, dan bukan sebaliknya, maka hujan deras harus mengakibatkan basah kuyup.

Bahkan Tuhan tidak hanya menciptakan langit yang berjumlah tujuh. Apakah Tuhan tidak Akbar sehingga kesanggupan penciptaannya hanya tujuh lapis langit. Sedangkan di setiap langit terkandung ketidakterbatasan yang tak terbatas. Jangankan sekedar peta antara terbatas dengan tidak terbatas. Sedangkan tak terbatas itu sendiri jumlahnya tak terbatas.

Kalau kehidupan ini hanya lever, yang padanya tak ada hati yang semesta keluasannya tak bisa dibatasi. Kalau segala yang diciptakan ini tanpa ruh, tanpa dimensi, tanpa nuansa, tanpa beda jauh antara rasa dengan roso, tanpa nurani dan tidak sama dengan sanubari, tanpa aku yang bukan saya, tanpa engkau yang bukan kamu, tanpa tampak langit yang sebenarnya bukan langit, tanpa badan yang bukan tubuh bukan jasad, tanpa ruh yang bukan nyawa bukan jiwa bukan sukma, tanpa rahasia tanpa sir tanpa misteri tanpa ghoib tanpa ghorib, bahkan tanpa hidup yang sebenarnya mati dan mati yang hidup — maka berhentilah pada kesadaran sangat lokal bahwa kehujanan itu basah kuyup.

***
Bahkan alkisah ada sebuah rombongan musik: di awal tahun 2000-an diminta pentas di sebuah lokasi terkenal nasional. Mereka bersama gamelan dan alat-alat modernnya diletakkan di panggung terbuka beratap langit. Sementara sebuah kelompok lainnya yang termasyhur, oleh Panitia dilindungi di bawah payung panggung besar.

Rombongan atap langit ini tidak disentuh oleh air tatkala sekitarnya hujan lebat. Sementara grup masyhur yang berada di panggung dengan atap besar kokoh, malah diguyur hujan habis-habisan.

Tentu sama sekali bukan karena ‘Rombongan-Alkisah’ ini memiliki kesaktian untuk tidak basah kuyup oleh hujan deras. Yang terjadi sangat sederhana. Arus hujan dari angkasa ke bumi dibikin tidak lurus dari atas ke bawah. Melainkan miring. Sehingga memasuki panggung kelompok terkenal itu.

Anak cucuku dan para jm tahu hujan tidak mengguyur seantero bumi. Hujan adalah paket dengan batas, yang bisa luas bisa sempit. Bahkan suatu curah hujan di suatu wilayah, hanyalah sepenggal kecil dibanding luasnya permukaan bumi. Dan jika dibandingkan dengan betapa luasnya alam semesta, maka sebuah curah hujan itu tak tergambar kecilnya oleh ujung pena yang terkecil.

Panggung terbuka Rombongan-Alkisah berada di luar batas lokal hujan itu, sementara kelompok terkenal itu berada di dalam lingkup perbatasan antara hujan dengan tidak hujan.Rombongan-Alkisahitu tidak tahu-menahu dan tidak pernah merencanakan apapun, apalagi memiliki kemampuan dan kesaktian ini itu. Bahkan sudah merelakan mereka akan terguyur hujan, karena tidak dilindungi oleh panggung besar seperti kelompok di belakangnya.

Kemudian ternyata hujan tak menyentuh mereka. Apakah yang melatarbelakanginya? Apakah ada urusan moral? Misalnya persepsi bahwa penyelenggara acara itu melakukan diskriminasi, kelompok terkenal itu dibikinkan pelindung hujan, sementara Rombongan-Alkisah dikasihkan bulat-bulat kepada hujan? Sampai hari ini Rombongan-Alkisah itu tidak mencatat momentum sejarahnya di awal 2000-an itu dengan mencantumkan kata diskriminasi, pelecehan, ketidakadilan atau apapun.
Mereka hanya bersyukur dan takjub kepada manajemen Tuhan.

***
Mungkin mereka membawa atau mempekerjakan seorang Pawang Hujan? Demikian juga penyelenggara acara itu pun ternyata memang menyewa seorang pawang yang mumpuni dan kelas paling pakar?

Dan Sang Pawang sesudah peristiwa hujan itu bergegas khusus menemui mereka untuk membungkukkan badannya, hampir seperti menyembah, untuk minta maaf dan mengakui bahwa ilmu kepawangannya tidak ada apa-apanya dibanding Pawang yang dibawa oleh Rombongan-Alkisah itu.

Tetua Rombongan-Alkisah merangkul pawang itu, mengajak minum kopi bersama, dan mempersaudarainya. Kemudian dengan hati-hati menjelaskan bahwa kelompok mereka tidak bawa pawang, tidak pernah kenal pawang hujan, sehingga selama lebih 4000 kali pementasannya tidak pernah menggunakan pawang.

Bahkan Rombongan-Alkisah tidak pernah memiliki keberanian untuk menolak hujan. Mereka selalu berpendapat bahwa hujan itu baik dan tidak hujan juga baik, sepanjang kita menyimpulkan bahwa hujan dan tidak hujan terjadi hanya karena Tuhan mengizinkan atau tidak menghalanginya untuk terjadi.

Di antara sekian ribu pemanggungan Rombongan-Alkisah, ada beberapa kali turun hujan, meskipun alhamdulillah tanpa bicara apapun: hujan tidak pernah menghalangi para hadirin untuk tetap bersama Rombongan-Alkisah itu, tidak membuat mereka pergi dari acara. Rombongan-Alkisah mengajak hadirin untuk mempelajari hujan, asal-usulnya, kehendak yang menurunkannya, baik buruknya bagi mereka, akibat-akibatnya dan apa saja yang terkait dengan turunnya hujan.

Puncak pencapaian diskusi tentang di bawah guyuran hujan biasanya adalah keikhlasan menerima hujan. Kemudian kesadaran baru bahwa hujan punya banyak fungsi. Misalnya menyaring siapa saja yang niat-niat baiknya sedemikian mendasar dan besar sehingga tidak bisa dibatalkan atau dihalangi oleh hujan. Bahwa hujan menjadi cermin bagi ketangguhan atau kerapuhan badan dan mentalnya. Bahwa hujan membuat mereka lebih kuat mentalnya, lebih meningkat daya berpikirnya, lebih sublim rohaninya, serta sangat jelas mengikis kecengengan hatinya.

Rombongan-Alkisah itu mengalami bahwa ketika ribuan orang di depannya itu bersama mereka mencapai ketepatan sikap terhadap hujan, mencapai kejernihan ilmu tentang hujan, mencapai keluwesan jasad dan perasaan terhadap hujan, atau mencapai nikmatnya hujan di antara pergaulan mereka dengan Tuhan dan alam — maka hujan kemudian bersikap kooperatif. Puncak kesadaran ribuan orang itu membuat hujan berhenti sesudah mengguyur 4-5 menit, bersabar dan toleran kepada ribuan sahabat-sahabat barunya. Menunda hajatnya. Menyingkir ke area di sekitarnya. Atau berpuasa beberapa jam dari haknya untuk mengguyur.

Nanti sesudah ribuan hadirin itu dengan Rombongan-Alkisah berdoa bersama dan acara diakhiri, pelan-pelan atau langsung, hujan turun kembali.

Dari cn kepada anak-cucu dan jm
10 Maret 2016
 https://www.caknun.com/2016/persaudaraan-dengan-hujan/
Fotop : Koleksi Suyadi Jossmart.com




Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?   Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha, Judul : Daur VI – Siap...