Minggu, 16 Juni 2019

Daur I No.051 Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib?


Daur-I • 51

Apa Yang Perlu Direnungi Dari Nasib?

Sepeninggal Bolot, Tonjé dan Kasdu termangu-mangu.

Sejak tinggal di Patangpuluhan dulu mereka, ratusan kasus seperti Bolot ini yang diam-diam mengganjal di hati mereka. Kalau sesekali mereka bertemu teman lain, tetangga atau siapa saja di muka bumi ini, selalu berkesimpulan bahwa Bolot itu karangan. Khayalan. Kelakar.

Kali ini pun ternyata mereka tetap termangu-mangu. Termangu-mangu itu bentuknya adalah wajah melamun. Kalau ada tamu lagi datang, pasti menuduh mereka sedang berkhayal. Mungkin merenungi diri dan nasib mereka masing-masing.

Padahal untuk apa nasib direnungi? Apa yang perlu direnungi dari nasib?

Tuhan bekerja menjalankan takdir-Nya, memproduksi nasib manusia dan apa saja ciptaan-Nya.

Takdir atas angin, menghasilkan nasib angin. Pun nasib ayam, sehelai bulu, setetes embun, segundukan kecil gunung, hamparan ruang yang menggendong masyarakat galaksi, apa saja.

Yang perlu direnungi adalah perkembangan kerja kerasmu, ketekunan atau kemalasanmu, ketangguhan atau kerapuhan mentalmu, ketenangan atau kegalauan hatimu, pengolahan kecerdasan atau pembodohan akal pikiranmu.

Yang perlu direnungi adalah naik turunnya kesabaranmu selama menunggu waktu di bumi sebelum dipindahkan ke tempat yang lain. Keteguhan jiwamu menjalani jarak dari awal hingga akhir tugasmu yang ini, supaya kualitas penugasan atasmu meningkat pada era berikutnya sesudah kepastian yang untuk sementara disebut kematian.

Ada peradaban suatu masyarakat yang menyimpulkan perasaan dan pengalamannya bahwa jarak sangat jauh antara awal ke akhir penugasan yang ini hanyalah “mampir minum”. Ada ribuan orang yang duduk bersama semalam suntuk memenuhi pikirannya dengan cinta kepada Tuhan dan Rasul-Nya sehingga terasa seperti tak ada satu jam. Dan sebagian dari mereka yang memasuki alam keTuhanan, sedikit bisa merasakan “ka-lamhin bil-bashar”, sekejapan mata.

Apa yang perlu direnungi dari nasib mampir minum sekejapan mata? Kecuali kebodohan merasakan sekejapan mata itu seakan-akan 40 hari 40 malam, karena tak mengerti apa yang harus dikerjakan oleh jiwanya dalam sekejapan mata itu.

***
Jadi Tonjé dan Kasdu termangu-mangu sama sekali tidak karena merenungi nasibnya di dunia. Tuhan sudah sejak semula menuliskannya di lembaran-lembaran kertas agung kehendak-Nya yang Ia jaga dengan amat sangat seksama.

Yang perlu direnungi bukan keputusan Tuhan. Yang harus direnungi untuk diperbaiki adalah keputusan-keputusanmu sendiri. Atas keputusan Tuhan, jelas masalahnya: ikhlas menerima, kemarin, hari ini atau besok.

Nasib Tonjé tidak baik. Nasib Kasdu tidak buruk. Nasib Markesot tidak gimana-gimana. Tidak ada ukuran-ukuran semacam itu. Lebih bodoh lagi adalah perbandingan nasib. Kepiting tidak merenungi nasibnya yang tak bisa terbang. Burung elang tidak menyesali nasibnya kok tidak dijadikan ayam yang disantapnya. Panas tidak mencemburui dingin. Bumi tidak dengki kepada langit. Malaikat tidak meratapi eksistensinya yang tanpa nafsu, meskipun juga tidak perlu kasihan kepada manusia yang kebanyakan di antara mereka hancur lebur hidupnya oleh nafsu.

Bahkan yang kaya tidak ada alasan untuk menyimpulkan ia lebih sukses dibanding yang miskin. Sebab hidup di dunia tidak ada kaitannya dengan pencapaian dunia. Yang berkarier memuncak dengan jabatan, pangkat, kemasyhuran dan harta benda, tidak perlu bodoh untuk menganggap yang lain yang tidak mencapai itu semua berada di bawahnya, di belakangnya atau di tempat lain yang marginal.

Pun yang saleh alim khusyu sangat religius ahli wirid pakar ibadah dan apapun, sama sekali dilarang dungu untuk merasa lebih mencapai keberhasilan dibanding yang lain.

***
Kalau kesalehan dipentaskan sebagai sukses hidup di dunia, menjadi cacatlah kesalehan itu. Apalagi harta pangkat karier kekayaan yang dianggap pencapaian dunia, maka merosot jadi lebih rendahlah ia dibanding dunia.

Shalat khusyu bukan pencapaian dunia, melainkan tabungan akhirat. Akhlak yang baik bukan citra keduniaan, melainkan batu-bata jalanan ke sorga. Uang banyak adalah pencapaian dunia, sedangkan manfaat uang itu adalah sukses akhirat. Harta bertumpuk menjadi keberhasilan dunia atau akhirat bergantung pada pengolahan kompatibiltasnya, ke keduniaan atau ke akhirat.

Silahkan memilih apa saja yang membuatmu bergerak mendekat ke Allah dan membuat Allah mendekat kepadamu. Tidak peduli kegembiraan atau kesengsaraan, asalkan membuat Tuhan dan engkau berdekatan. Tidak peduli uang sedikit atau banyak, rumah besar atau kecil, mobil atau sepeda, hafal Qur`an atau tidak, jadi presiden atau kuli pasar, hidup mapan atau gelandangan, apapun saja, asalkan engkau olah menjadi alat untuk mendekatkan jarak antara Tuhan denganmu.

Jadi, masih heran dan tidak pahamkah kepada Bolot?

***
Maka Bolot tidak aneh. Apalagi bagi Tonjé dan Kasdu. Pengalaman Patangpuluhan mereka dulu membuat mereka terlatih menghadapi, melayani, mengatasi segala jenis manusia dan berbagai macam persoalan yang mereka bawa.

Kalau ada yang menyebut Bolot itu gelandangan yang gila, mudah-mudahan itu sekedar basa-basi bahasa yang berlaku sementara waktu di bumi, mohon jangan mendalam dan mendasar. Nanti kamu kaget disapa olehnya di kehidupan berikutnya.

“Jangankan Bolot”, kata Tonjé, “saya yang masih tampak normal ini saja kesepian di tengah tetangga dan masyarakat”

“Kenapa?”, tanya Kasdu, “karena mereka tidak paham?”

“Ya lah. Karena apa lagi kalau bukan karena itu”

“Apa mereka harus paham kamu?”

“Ya ndak harus”

“Apa masyarakat punya kewajiban untuk memahami hidupmu?”

“Ndak juga”

“Jadi?”

“Ya nggak apa-apa. Ini soal kesepian aja”

“Kenapa kesepian?”

“Karena hidup saya tidak sama dengan mereka”

“Kalau gitu ya bikin hidupmu sama dengan hidup mereka”

“Nggak mau”

“Kalau gitu jangan kesepian”

“Apa kesepian itu dilarang?”

“Nggak juga. Cuma tidak usah dikeluhkan”

“Siapa yang mengeluh”

“Lha kamu?”

“Saya cuma omong. Cuma membunyikan mulut tentang kesepian. Itu tidak berarti saya tertekan oleh kesepian. Juga tidak berarti saya menolak kesepian”

“Kalau gitu jangan diomongkan”

“Apakah mengomongkan kesepian itu salah”

“Tidak. Saya juga kesepian, tapi tidak omong”

“Kenapa tidak?”

“Sebab kalau kesepian saya omongkan, ia batal. Kalau saya keluhkan, ia najis”


 https://www.caknun.com/2016/apa-yang-perlu-direnungi-dari-nasib/
Foto : Koleksi Yaddie jossmart.com


Daur I No.050 Kelas Sufi Bolot




Daur-I • 50

Kelas Sufi Bolot

Sebaiknya jangan ada yang berpikiran bahwa Mr. Bolot ini tokoh fiksi, figur khayalan, atau pelakon karangan sebagaimana dalam drama atau novel.

Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga Ia mendatangkan makhluk jenis Bolot ini ke rumahmu. Ikut mendidik anak-anakmu. Sesering mungkin. Syukur tinggal di rumahmu.

Alhamdulillah kalau ndungsel-ndungsel dan menguntitmu ke mana saja. Ya Tuhan kabulkanlah harapanku. Apabila ada yang tidak setuju dan menolak doaku, saya tingkatkan permohonan saya kepada Tuhan agar mendatangkan kepada tokoh lain yang lebih kumuh, lebih gila dan liar dibanding Bolot.

Terus terang yang paling urgen bagi ummat manusia zaman sekarang ini adalah membongkar kembali konstruksi pikiran dan pola pandangnya terhadap kehidupan.

Supaya besok tidak kaget, ketika saatnya tiba.

***
Sesudah Bolot pergi membawa sangu patungan Tonjé dan Kasdu, dua teman Markesot ini berpikir apakah gelandangan perlente ini nanti akan balik lagi ke Patangpuluhan sebagaimana dulu ketika bertamu kepada Markesot?

Ternyata iya. Kasdu langsung bilang, “Markesot tidak ada. Sejak kamu datang tadi Markesot juga tidak ada. Kan kalau saya tanya kenapa kamu balik lagi ke sini, alasanmu pasti karena masih kangen kepada Markesot, to?”

Karena sudah pakai celana dan kaos dan berpenampilan normal, Bolot menjawab lebih gagah dibanding ketika pertama datang tadi.

“Apa bedanya ada Markesot atau tidak?”, katanya, “Apakah untuk bertemu Markesot harus ada Markesot?”, dan berkepanjangan, “Hidup ini arahnya cuma satu, yakni bertemu dengan Tuhan. Tapi apakah untuk berjumpa dengan Tuhan maka Tuhan harus ada di depan kita, tampak di pandangan mata kita, duduk di sini ngopi bersama?”

Benar-benar berkepanjangan.

“Apakah untuk naik haji harus naik kapal atau pesawat ke Mekah? Orang gila keturunan siapa yang mengharuskan saya beli tiket ke Arab? Sedangkan celana dan kaos saja belum tentu ganti tiga tahun sekali. Siapa bilang untuk berthawaf saya harus berada di Masjidil Haram dan mengelilingi Ka`bah dengan kaki jasad saya? Siapa tahu Pemilik Ka`bah terharu melihat gelandangan seperti saya lantas suatu saat membawa Ka’bah ke saya untuk saya thawafi? Atau bagaimana kalau ternyata sebelum saya berthawaf malahan Ka`bah itu sendiri yang duluan menthawafi saya?”

Tonjé dan Kasdu berpandangan satu sama lain dengan tersenyum dan penuh kesabaran.

“Hajar Aswadnya ikut sekalian bersama Ka`bah mendatangi kamu apa nggak?”, Kasdu menyela.

“Itu hak asasi dia”, jawab Bolot, seolah-olah ia seorang Sufi agung campur cendekiawan modern, “Kan Tuhan menyatakan bahwa kalau saya mendatanginya selangkah, Ia menghampiri saya sedepa.

 Kalau saya setengah meloncat kepada-Nya sedepa, Ia merapat ke saya sepenggalah. Hajar Aswad mungkin sudah dibisiki oleh beberapa Malaikat tentang sialnya hidup saya. Orang dari negeri jauh secara ruang maupun waktu. Jauh dari Kanjeng Nabi. Tempatnya sangat di seberang, waktu kelahiran saya juga sangat terlambat dibanding masa hidupnya Kanjeng Nabi. Bukankah karena itu maka rasa sayangnya Kanjeng Nabi kepada saya berlipat-lipat dibanding kepada para sahabat yang hidup bareng beliau waktu itu di Mekah atau Madinah? Lha saya kan di Blitar…”

***
Tonjé menyela, “Kamu ini sedang senang atau sedih? Sedang merayakan keadaanmu atau meratapi?”

“Apa bedanya perayaan dan ratapan untuk orang seperti saya. Kesenangan tidak mau mendatangi saya, maka kesedihan pun saya usir dari hidup saya. Kalau kesedihan mau tinggal bersama saya, harus nikah dulu dengan kesenangan di dalam diri saya. Kalau tidak, saya tolak kedua-duanya.

 Jangan main-main dengan Pendekar dari Blitar”

“Memangnya kenapa kalau main-main dengan Pendekar dari Blitar?”, Kasdu bertanya.

“Ya ndak apa-apa. Pokoknya jangan gitu aja. Tidak pakai sebab atau karena atau maka. Hidup cuma sekali kenapa direpotkan oleh sebab dan karena dan maka. Tiap hari, tiap minggu, bulan, tahun, tiap siang dan malam saya berjalan, berjalan, berjalaaan, menthawafi dunia. Orang-orang itu cuma mengelilingi Ka`bah tujuh kali saja bangga dan merasa berprestasi. Kalau diukur dengan pencapaian orang menthawafi sorga, berapa ratus ribu kali saya sudah menthawafinya”

“Tapi kan bukan Ka`bah”, celetuk Tonjé, “yang kamu lakukan selama ini kan berjalan ke mana-mana di jalanan, alasannya karena tidak punya tempat tinggal. Sedangkan orang berthawaf kan beribadah”

“Jadi melangkahkan kaki dan menggerakkan badan siang malam ini bukan ibadah? Apa namanya kalau bukan ibadah? Tuhan kasih kaki, saya pakai untuk berjalan. Tuhan kasih saya badan, saya gerakkan. Bukan ibadah bagaimana? Kalian pikir saya berjalan kaki ada tujuannya selain mensyukuri bahwa saya punya kaki dan badan? Kalian pikir saya melangkahkan kaki untuk mengejar uang, harta, cita-cita, karier, pangkat, jabatan, kemasyhuran, atau apa saja yang menghina kaki dan badan? Saya berjalan karena Tuhan menciptakan saya berkaki, maka Tuhan senang hatinya kalau saya berjalan.

Saya berjalan di dunia, tapi tidak menuju dunia. Saya berjalan di atas bumi, tapi tidak untuk memiliki bumi. Saya berjalan menyusuri alam semesta, tanpa pernah saya punya pikiran untuk menguasainya, apalagi menaklukkannya. Saya berjalan karena hidup adalah terus berjalan sampai saatnya nanti saya tidak lagi bisa berjalan”

***
“Yaaa tapi bumi dan alam semesta kan tidak sama dengan Ka`bah”, Tonjé menyela lagi, “Beda dong orang berjalan menyusuri jalanan seperti kamu dengan orang mengelilingi Ka`bah”

“Memang beda”, jawab Bolot, “tapi tidak berbeda. Sudah sangat jelas bahwa itu berbeda. Yang satu halaman dalam Masjidil Haram dengan Ka’bah di tengahnya. Yang saya jalani ini ya mana saja yang mungkin saya melangkahkan kaki. Tapi kalau kalian memakai alasan bahwa Ka`bah itu rumah Tuhan, memang sebelah mana dari jagat raya ini yang bukan rumah Tuhan. Memang ada bedanya rumah Tuhan yang ini dengan rumah Tuhan yang itu. Tidak sama rumah Tuhan yang di sana dengan rumah Tuhan yang di sini. Tapi kan semua rumah Tuhan. Bahwa Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya, itu kan strategi geografis untuk mempersatukan ummat manusia yang mencintai-Nya. Tetapi kenyataan hakikinya ‘semua’ dan ‘setiap’ adalah rumah Tuhan. Bahkan Tuhan juga berumah di dalam dada saya..”

“Sejak kapan Tuhan berumah?”, Kasdu menggoda.

“Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya itu kan cara untuk menyesuaikan diri dengan batas pengetahuan dan ilmu yang Ia sendiri tentukan bagi manusia. Bahasa jelasnya, adaptasi terhadap kedunguan manusia, meskipun Tuhan sendiri yang mentakdirkan manusia itu dungu, berilmu hanya sangat sedikit”

“Termasuk kamu?”

“Pasti lah. Karena saya sangat tahu betapa dungu dan tak berartinya saya, maka saya tidak sudi menghiasi hidup saya dengan keindahan dunia. Saya terima celana dan kaos dari Sampeyan tadi bukan karena saya memerlukannya, tapi sebagai kewajiban menjalankan sopan santun kepada sesama manusia. Aslinya saya pengin-nya telanjang bulat seratus persen. Cuma saya kasihan kepada orang-orang sekitar yang melihat saya. Saya tidak tega kepada anak-anak kecil dan siapa saja yang nanti pasti menyangka saya orang gila, sehingga merendahkan dan memain-mainkan saya. Saya suka dianggap gila, saya merasa nikmat untuk dimain-mainkan. Tetapi saya kerepotan berdoa kepada Tuhan agar mengampuni mereka”

“He”, Kasdu memotong, “Kamu kok tidak jadi Dosen saja to? Kok malah nggelandang seperti ini. Padahal rasa-rasanya kamu layak bikin Kelas Sufi lho. Atau apa saja lah. Yang penting hidupmu berguna”

“Lho siapa manusia di dunia ini yang menginginkan ada manusia berguna? Yang mereka maui adalah orang yang memberikan keuntungan kepada mereka, terutama keuntungan dunia, uang, harta, jabatan, akses dan yang sejenis itu. Yang dimaksud guna atau manfaat sekarang ini adalah keuntungan dunia. Sangat memalukan. Jadi saya tidak mau terlibat sedikit pun. Nol. Total”.

https://www.caknun.com/2016/kelas-sufi-bolot/

Foto : Koleksi Yaddie jossmart.com

Daur I No.049 Informasi Bakul, Bakul Informasi


Daur-I • 49

Informasi Bakul, Bakul Informasi

Tonjé dan Kasdu merasakan kegairahan baru dengan kata ‘kudeta’ dan siap merayakannya, bahasa jelasnya: mengkhayalkannya. Tiba-tiba datang seorang tamu. Berjalan memasuki halaman rumah hitam Patangpuluhan dengan langkah jlong-jlong-jlong sangat gagah bak Raden Werkudoro.

Sayangnya penampilan tamu itu sama sekali tidak kompatibel dengan kegagahan langkahnya. Secara keseluruhan ia sangat kumuh. Rambutnya gimbal, tidak pernah kramas minimal tiga tahun. Hanya pakai kaos, sangat kotor dan bercampur bolot. Celananya tidak lulus disebut celana, karena robek di sana sini, terutama di bagian pantatnya. Tidak pakai alas kaki.

Tapi wajahnya ceria. Mulutnya tersenyum lebar. Sorot matanya penuh keyakinan. Gerak-gerik tubuhnya mencerminkan optimisme.

Tonjé dan Kasdu setengah terpana.

Tidak sepenuhnya terpana, karena selama mereka di Patangpuluhan di zaman dulu tamu-tamu yang demikian sangat banyak ragamnya. Mereka sangat terbiasa menemui bermacam-macam keadaan manusia.

Sambil melihat dan menunggu si tamu berjalan, Kasdu berbisik: “Ini kira-kira Nabi Khidlir apa Sunan Kalijaga?”

Tonjé menjawab: “Insyaallah sejenis Kiai Sableng”

***
Tak bisa nyeletuk lebih jauh, si tamu langsung duduk di salah satu kursi bambu jebol di beranda itu. Ia menjatuhkan pantatnya dengan penuh kelegaan. Wajahnya menoleh ke berbagai arah, menatap-natap ke genting, belok ke daun-daun pohon Waru, mampir langit sekilas, kemudian kedua matanya menyorot tajam ke Kasdu dan Tonjé berganti-ganti.

Mereka berdua tidak menanggapi si Bolot dengan tembakan sorot mata yang sama. Kasdu dan Tonjé memang menanggapi dengan membalas menatap mata si Bolot, tapi dengan urat syaraf wajah yang longgar, dengan bibir yang sedikit tersenyum. Sedikit saja. Untuk memenuhi sopan santun.

“Sopan santun tuan rumah”, mendadak si Bolot berkata, “kalau melihat di halaman rumahnya ada tamu, maka ia berdiri untuk menunjukkan penerimaannya, kalau perlu berjalan menyongsongnya”

Tonjé dan Kasdu berpandangan.

Tonjé menjawab, “di Patangpuluhan tidak ada tamu. Semua yang di sini adalah tuan rumah”

“Maka pintu rumah Patangpuluhan tidak pernah ditutup, tidak ada kunci atau gemboknya”, Kasdu menambahkan.

Si Bolot lompat tema, “Cak Sot mana?”

Sebelum dijawab ia berdiri, melangkah ke arah pintu, masuk ke ruang depan. Tangan si Bolot bertolak pinggang. Ia memeriksa berbagai arah di dalam ruangan. Kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Kok ada tivi di sini?”, si Bolot meledak tertawanya, “Hari gini, kok masih nonton tivi”

Tonjé dan Kasdu saling bertatapan lagi.

“Cara memahami kalimat orang tidak waras sangat mudah”, kata Kasdu, “tinggal dibalik. Hari gini kok tidak nonton tivi”

“Tamu bolot itu datang tidak untuk berseminar”, sahut Tonjé, “pernyataannya bukan makalah. Jadi tidak perlu memberi tanggapan”

***
Terdengar suara Bolot lagi, “Cak Sot selalu kasih pengumuman ke mana-mana, bahwa kita jangan terperdaya oleh sesuatu yang ngakunya mengurusi informasi, padahal bakulan”

“Bakulan?”, Tonjé berbisik.

Bolot yang menjawab dari ruangan, “Orang terkesan seolah-olah informasi adalah urusan nilai, pengetahuan dan ilmu, padahal itu dagang. Memang tivi tidak bisa hidup kalau tidak sambi bakulan.

Tapi kalau yang diperdagangkan adalah informasi, maka informasi harus disunat berdasarkan beberapa kepentingan. Pertama, kepentingan untuk memilih mana yang laku mana yang tidak laku. Akibatnya kehidupan yang diinformasikan menjadi tidak utuh. Ketidakutuhan informasi yang disuguhkan terus menerus akan melahirkan generasi yang disinformatif. Ilmu dan pengetahuannya seperti hantu pincang, hanya punya kaki satu, matanya pun sebelah, keputusan-keputusan hidupnya pun hanya pecahan-pecahan”

Tonjé dan Kasdu tak henti bertatapan karena heran pada Bolot. Ini gelandangan atau Dosen?

“Masih untung kalau sekedar tidak utuh”, Bolot melanjutkan, “kalau informasi dipotong-potong, dijungkir-balikkan muatannya, ditambahi sini dikurangi sana, berdasarkan kepentingan politik golongan yang membiayai tivi, maka semua pemirsa tivi menjadi masyarakat bloon yang tiap hari ditipu-tipu, dikibuli, diperdaya, dibuli, dikempongi”

Tonjé tidak tahan untuk tidak bereaksi. “Sebenarnya yang di tivi memang informasi. Siapa bilang bukan informasi. Memang kita semua ini dijadikan narapidana oleh para bakul informasi, dicekoki dengan informasi-informasi bakulan…”

Kasdu memotong: “Kamu serius mau mengemukakan makalah sanggahan?”, kemudian ia berteriak, “Bolot! Ini ada seorang pakar yang menyiapkan sanggahan”

“Sanggrahan?”, Bolot menjawab dari dalam, “Sudah tutup”

Tonjé tertawa. “Informasi dalam jarak beberapa meter saja biasnya sebegitu jauh. Sanggahan menjadi Sanggrahan”

“Kemungkinan telinga si Bolot itu yang tidak waras”

“Atau artikulasi bicaramu yang tidak fix, sehingga informasimu bias”

Si Bolot teriak dari dalam, “Diskusi apa itu? Kok seperti orang tidak punya kerjaan. Sempat-sempatnya mikir sampai yang begitu-begitu”

Tonjé dan Kasdu hampir berbarengan tertawa. Bagaimana ini. Gelandangan pakaian sobek-sobek, pantatnya kelihatan, rambut gimbal, tidak mandi bertahun-tahun, mengkritik orang lain tentang pekerjaan, seakan-akan ia direktur perusahaan bangunan.

“Kalau saya wajar omong apa saja”, Bolot melanjutkan, “saya ngritik tivi, karena saya tidak punya tivi. Saya ngritik negara, karena saya tidak punya kartu identitas. Saya tidak harus mengerjakan apapun di kantor apapun, tidak ada istri dan anak untuk dipikirkan. Saya hanya gelandangan, jadi saya punya waktu sangat lapang untuk bicara apapun, mengkritik siapapun, merenungi apapun yang besar-besar maupun sampai yang kecil-kecil, huruf, garis, lekuk, titik, koma, semau-mau saya”

***
Tiba-tiba Tonjé berdiri dari duduknya. Meraih rangselnya. Mengambil satu dua lembar pakaian. Kemudian pergi masuk menemui Bolot. Tangan Bolot diseret ke ruang dalam sampai ke belakang.

“Kamu mandi sekarang”, ia mendorong Bolot masuk ke kamar mandi, ia tutup pintu. Bolot menatap Tonjé dengan wajah agak ragu.

“Cepat mandi”, Tonjé setengah membentak, “Ini celana dan kaos. Kamu pakai. Mandinya yang lama. Minimum lima kali lipat dari biasanya orang mandi. Itu sudah sangat cepat kalau diukur kamu sudah tidak pernah mandi lebih dari tiga tahun”

Kemudian Tonjé keluar mengambil bongkahan batu bata. Masuk lagi. Melemparkan batu bata itu ke dalam kamar mandi melalui atas pintu. “Ini untuk sikat gigi”

Kemudian Tonjé ke depan lagi dan membisiki Kasdu. “Sepertinya saya ingat orang ini pernah bertamu ke sini zaman dulu mencari Markesot. Gayanya sama. Pakaian gembel tapi perilakunya perlente. Ketemu Markesot seolah-olah mereka sesama Direktur Bank”

“Sebentar, saya coba ingat-ingat”, kata Kasdu.

“Saya melakukan seperti yang dulu Markesot lakukan: menyuruhnya mandi, memberinya pakaian.

Ketika itu Markesot memberinya fatwa bahwa Bolot harus mulai bekerja. Markesot dulu bilang ‘kamu ini bisa jadi Guru SD, tapi mungkin semua SD tidak punya kemampuan untuk menerima kamu’.”

“Ya, ya…saya ingat”, Kasdu menyahut, “setelah diikat disuruh kerja, dikasih sangu, kemudian Bolot pergi, tapi satu jam kemudian ia balik lagi. Markesot agak marah, langsung berdiri bertolak pinggang, membentak ‘Lho kok kamu balik lagi?’. Bolot menjawab, ‘Waduh, saya masih kangen sama Sampeyan, Cak Sot’. Markesot lemas. Karena itu berarti nanti ia harus ngasih sangu lagi”

https://www.caknun.com/2016/informasi-bakul-bakul-informasi/

Foto : Koleksi yaddie.jossmart.com

Daur I No.048 Markesot mencari Kiai Sudrun

 


Daur-I • 48

Markesot Mencari Kiai Sudrun

“Dari dulu kita tahu”, celetuk Tonjé, katakanlah demikian nama salah seorang teman Markesot itu, “kalau dia menghilang, ya ke mana lagi…”

“Cari Kiai Sudrun”

Tonjé tersenyum. “Pergi jalan kaki menjadi gelandangan kumuh, menyusuri jalanan selang-seling rel kereta api”

“Merasa sedang menyamar jadi gelandangan kumuh, padahal memang aslinya gelandangan kumuh”

“Kumuh, kumal, kemproh”

“Mencari Kiai Sudrun, di pesanggarahan di tengah hutan belantara”

“Di hutan belantara yang dirasakan atau dia anggap sebagai keraton”

“Dianggap keraton oleh Markesot atau oleh Kiai Sudrun?”

“Oleh keduanya. Karena sama-sama tokoh Dunia Maya”

Tonjé dan Kasdu tertawa bersama-sama.

***
Semua teman-teman Markesot sudah satu persatu meninggalkan rumah hitam Patangpuluhan, kecuali Tonjé dan Kasdu. Tanpa satu pun bertemu dan pamit kepada tuan rumah, karena sesudah pertemuan maya, Markesot menghilang ke dunia yang lebih maya lagi.

Tapi the show must go on. Kehidupan harus diteruskan. Entah berat atau ringan tetapi mereka harus meninggalkan Patangpuluhan, kembali ke kehidupan nyata. Terserah yang mana sebenarnya yang nyata dan yang maya. Mereka sudah merdeka diputar-putar diombang-ambingkan oleh Markesot untuk menghayati kebingungan di antara nyata yang maya dan maya yang nyata, yang terus berganti-ganti hakekat dan syariatnya.

Hanya Tonjé dan Kasdu yang tampaknya masih agak santai-santai di Patangpuluhan. Mereka tidak terlihat akan harus segera pulang. Tapi seandainya meninggalkan Patangpuluhan, sebenarnya belum tentu jelas juga pulang ke mana. Katakanlah kalau ‘ke mana’-nya jelas, yang tidak jelas adalah konsep ‘pulang’-nya.

Di antara teman-teman yang lain, dua orang ini yang paling ‘tidak profesional’. Mungkin tidak tepat-tepat amat disebut demikian. Kurang mapan, mungkin? Dari segi profesi, mereka kerjanya sangat swasta, atau swastanya swasta. Tidak bisa disebut sebagai pekerja yang mandiri, dengan bisa usaha atau penghidupan yang tertentu. Mandiri mereka berdua ini maksudnya hidup dari hari ke hari dengan serabutan dan spekulatif.

***
Tonjé dan Kasdu duduk-duduk di kursi bambu jebol-jebol di beranda Patangpuluhan. Celetak-celetuk, terkadang tertawa, kemudian diam, masing-masing terhanyut dalam lamunannya.

“Tapi kali ini mungkin serius lho dia mencari Kiai Sudrun itu”

“Apa kamu tahu apa beda antara serius dan main-main dalam perilaku Markesot?”

“Saya yakin kali ini Markesot serius dalam pengertian seriusnya kebanyakan orang”

“Kebanyakan orang kan seriusnya juga ternyata main-main”

“Saya tidak berbicara tentang kebanyakan orang. Saya berbicara tentang Markesot”

“Kan tidak mungkin bicara Markesot kalau tanpa komparasi di tengah kebanyakan orang”

“Tapi fokus saya Markesot, bukan kebanyakan orang”

“Di Patangpuluhan kita sejak dulu sudah sama-sama melihat bahwa hancurnya bangsa kita tidak terutama terletak pada gagalnya managemen pengelolaan negara, tidak pada kekayaan bumi rahmat Tuhan menjadi adzab bencana, tidak terletak pada budaya korupsi total, atau tidak pernah tercapainya harapan untuk masyarakat adil makmur. Itu semua hanya akibat. Karena sebab utamanya adalah manusia bangsa kita sudah tidak memiliki pagar yang jelas antara serius dengan main-main, antara baik dengan buruk, antara benar dengan salah, antara mulia dengan hina, antara malu dengan bangga…”

“Saya ini omong tentang Markesot mencari Sudrun, tidak mempersoalkan Negara dan Bangsa”

“Lho mana mungkin Markesot mencari Kiai Sudrun kalau tidak membawa tema dan keprihatinan tentang negara dan bangsa?”

“Lha memang itu yang tadinya mau saya katakan. Tapi kamu mendahului. Kamu berkomunikasi tanpa irama. Dialog teater saja pakai progresi dan eskalasi”

“Gini saja. Anggap saya mewakili kebanyakan orang”

“Maksudmu?”

“Kebanyakan orang tidak kenal teater, apalagi progresi dan eskalasi”

“Tapi kan hidup mereka pakai progresi dan eskalasi, meskipun mungkin tidak menyadarinya”

“Itu namanya tidak kenal. Tidak tahu. Tidak mengerti. Kebanyakan orang hanya terhanyut oleh progressi alam bercampur dengan eskalasi keadaan-keadaan zaman. Sebagian mereka beruntung karena nasib alamiahnya bagus dan keadaan zaman melemparkan mereka ke tempat yang tidak terlalu menyengsarakan. Tetapi kebanyakan dari kebanyakan orang hidup menjalani spekulasi dan perjudian nasib habis-habisan”

“Kita termasuk yang mana?”

“Kita tidak berada pada semuanya. Jadi orang kebanyakan yang susah dan malas. Jadi orang kesedikitan ya tidak punya keistimewaan apa-apa”

“Kok kesedikitan?”

“Banyak kebanyakan, sedikit kesedikitan”

“Tidak jelas ya bahasa kita”

“Tidak konsisten”

“Tidak logis”

***
Tonjé dan Kasdu termangu-mangu lagi.

Sesungguhnya diam-diam ada yang mengganjal dalam hati mereka berdua. Memang rata-rata teman-teman Markesot itu berlagak cueg terhadap tidak adanya Markesot ketika mereka harus pulang. Tapi semakin mereka pergi menjauh dari Patangpuluhan, semakin terasa ada sesuatu yang tidak selesai. Ada sesuatu yang belum benar-benar terisi di dalam jiwa mereka. Sehari semalam bersama Markesot itu pun seperti mimpi sejenak melayang-layang di dunia maya. Bahkan mayanya maya.

Ketika tadi malam Markesot mendadak berlaku seperti orang gila dengan ledakan cambuk dan suara tertawanya, sebenarnya diam-diam mereka menyadari bahwa bukan perilaku Markesot itu titik urusannya. Melainkan sesuatu di belakangnya, yang melahirkan ledakan pada kadar yang tinggi dan mendalam.

Dan kemudian Markesot tiba-tiba menghilang, mungkin ada beberapa kemungkinan yang membuatnya mengambil keputusan itu. Bisa sederhana saja: Markesot sejak dulu memang takut pada adegan perpisahan. Tidak tahan hati untuk berupacara pamit-pamitan.

“Mudah-mudahan Markesot mencari Kiai Sudrun untuk meminta izin, atau sekurang-kurangnya minta pertimbangan”, Tonjé nyeletuk.

“Soal apa?”, Kasdu menyahut.

“Kudeta”

“Yesss!”

“Lho kok yes?”

“Kudeta to?”

“Ya”

“Lha ya itu bahasa sono-nya yesss!”


https://www.caknun.com/2016/markesot-mencari-kiai-sudrun/

Foto : Koleksi Yaddie Jossmart.com


Daur I No.047 Pintu Tanpa Kunci Rumah Tanpa Isi




Daur-I • 47

Pintu Tanpa Kunci
Rumah Tanpa Isi

Sungguh tidak normal kehidupan Markesot dan rumah hitam Patangpuluhan. Yang didengar lamat-lamat semalam oleh salah seorang temannya, bahwa Bangsa kita sedang benar-benar dihancurkan, dan alat utama penghancuran itu adalah Bangsa kita sendiri, bahwa Ummat kita sedang sungguh-sungguh dirusak, dan alat utama perusakan itu adalah Ummat kita sendiri — termasuk omongan normal atau tidak normal dari Markesot?

Teman-teman Markesot sudah tidak bisa jenak lagi berdiskusi-diskusi. Mereka tergegas harus balik ke daerahnya masing-masing. Mereka punya kehidupan mereka masing-masing. Punya tanggung jawab kepada keluarganya. Punya kesibukan di tempat kerja. Punya program-program dengan masyarakatnya. Mereka harus kembali ke wilayah itu.

Biarlah Markesot si Manusia Maya dengan dunianya yang juga maya sekarang mendadak hilang menuju dunia lain yang lebih maya lagi. Tidak ada nomer handphone di tangan Markesot untuk bisa dihubungi. Namanya juga dunia maya, mana ada handphone, frekwensi, BTS, provider, GPRS-3G-LTE, browsing, unduh, unggah…memangnya Ande-ande Lumut, diunggah-unggahi oleh Trio Kleting.

Kalau memang bab penghancuran Bangsa dan perusakan Ummat itu merupakan persoalan yang sangat mendesak, nanti kan pasti Markesot mengirim surat lagi. Itu manusia masih berada di kebudayaan perangko, amplop, yang dilem pakai ludah, kotak surat dan kring-kring bunyi bel sepeda Pak Pos.

Salah seorang teman Markesot yang tinggal di seberang pulau jauh nyeletuk, “Saya anggap saja Markesot mendadak dipanggil oleh Kiai Sudrun ke dunia mega-maya, sebagaimana janji sama Menteri batal karena dia mendadak dipanggil oleh Presiden. Saya harus segera ke airport. Kalau ada teman-teman yang nanti kebetulan ketemu beliaunya, mohonkan saya pamit kembali ke anak istri”

***

Teman-teman lain jadi ingat. “Iya ya. Markesot terkadang bercerita tentang orang yang namanya Kiai Sudrun, tapi tidak pernah jelas juga siapa Drun Drun Sudrun itu”

“Orang Maya bercerita tentang tokoh maya”, sahut teman lain.

“Hasilnya membuat kita termaya-maya secara sangat maya”

“Padahal sepuluh tahun terakhir ini kita yang sudah enak-enak hidup nyata, diseret dan dihanyutkan oleh Peradaban Maya, teknologi maya, globalisasi komunikasi maya. Sampai akhirnya segala yang maya itu menjadi lebih nyata dari kenyataan hidup kita”

“Sekarang baru kita sadari bahwa sejak jauh sebelum ada teknologi maya, kita sudah termaya-maya oleh kemayaan Markesot. Sebenarnya mana yang benar-benar maya atau benar-benar nyata: dunia jasad dan manual kita, dunia teknologi maya, ataukah maya-nya Markesot dan Kiai Sudrun? Maya yang ini harus pakai perangkat lunak dengan perangkat kerasnya, memerlukan telpon genggam, smartphone, Tap Tip Tup, Pad Pid Pud, browsang-browing, Mbah Gugel…”

Cukup banyak di antara teman-teman Markesot yang berkumpul di Patangpuluhan itu yang memang merasa canggung dengan kondisi rumah hitam Patangpuluhan, yang mungkin rumah-rumah di zaman Ratu Sima atau Ratu Saba masih lebih layak huni. Ya ampun, untuk mandi masih tetap harus menimba dulu. Itu pun sekarang jorongan alias saluran air dari sumur ke kamar mandi sudah tidak selancar dulu.

Tempat sabun saja tidak ada. Odol sudah dilipat-lipat, diplenet-plenet sampai tinggal konsepnya tanpa ada odolnya. Mandinya masih pakai cibuk atawa gayung. Ini sastra Melayu klasik: gayung bersambut. Gayung plastik sudah sobek dan pecah sepertiga. Wahai Tuhan seru sekalian alam, peradaban sudah sampai ke shower, bathup, wastafel, closet, shampoo, conditioner….Markesot masih beralamat di peradaban byar-byur, ndodok, dengan lubang buangan air besar yang agak sedikit lebih sopan dibanding jumbleng.

Itulah sebabnya konsep keluarga itu penting. Markesot tidak pernah berkeluarga. Sehingga hidupnya tidak pernah berkembang menuju peradaban yang manusiawi. Lelaki yang tidak beristri akan selalu bodoh bagaimana mandi, bagaimana buang air kecil dan besar, bagaimana kramas, bagaimana menyeterika baju, bagaimana menghindari gambar pulau-pulau di kaos, aduuuuh apalagi deodorant dan parfum.

Itu baru di dalam rumah. Belum lagi nanti peradaban di luar rumah: jas, dasi, baju batik, sepatu, kapan baju dimasukkan ke dalam celana, di mana beli sabuk yang normal sehingga bukannya memakai cambuk dililitkan di pinggangnya.

***
Ada dua kemungkinan. Markesot tidak berbakat hidup bersama dan di tengah manusia di Bumi. Atau memang dia bukan makhluk Bumi.

Pintu rumah kok tidak pernah dikunci. Sesekali pintu tertutup, tapi tidak dikunci, dan memang tidak ada kuncinya. Bisa dibuka oleh siapa saja, jam berapa saja. Ada satu bagian yang dianggap oleh semua teman yang tinggal di Patangpuluhan sebagai kamarnya Markesot. Pintu kamar itu juga tidak ada kuncinya. Di dalam kamar juga tidak normal. Tidak ada almari pakaian, tempat tidur, rak buku, meja tulis, atau apa lah untuk pantas-pantas disebut kamar. Di lantai pojok hanya ada tikar plastik, dengan bantal kayu potongan dari dahan pohon sebelah, serta tumpukan barang-barang entah apa yang tidak pernah jelas karena ditutupi oleh jaket Markesot.

Kamar Markesot lembab. Temboknya berlumut-lumut yang ia gores-gores agar terasa sebagai lukisan abstrak ekspresionis. Pyan atau lapis anyaman bambu di bawah genting sudah sejak dulu dijadikan properti tikus-tikus untuk karya instalasi yang alamiah. Ada jendela di bagian kamar itu, tempat lompat Markesot kalau pergi menghilang di tengah malam.

Rumah hitam, rumah Patangpuluhan, rumah tanpa peradaban. Rumah tak ada isinya. Rumah tanpa barang-barang yang pantas dipandang mata. Rumah yang hampir tak ada isinya kecuali rangsangan untuk berputus asa dan iba bagi siapa saja yang memasukinya.

Bisalah dipahami kenapa pintu-pintu rumah itu tak ada kuncinya. Karena tidak ada calon maling yang dungu sehingga merancang untuk mencuri sesuatu di dalam rumah itu. Satu-satunya yang bisa dicuri adalah Markesot itu sendiri. Dan adakah di muka Bumi ini pencuri tak punya otak yang ingin mencuri benda yang bernama Markesot?

Salah seorang teman Markesot pernah berpendapat, “Markesot itu epigon Sufi Nasrudin Hoja yang kalau ada maling masuk rumahnya malah bersembunyi, karena merasa malu kepada si malang: tidak ada barang apapun yang layak dicuri”.

Tapi dibantah oleh teman lain, “Saya kira tidak ada kaitannya. Markesot memang miskin. Kalaupun dia Sufi, itu karena memang miskin”

https://www.caknun.com/2016/pintu-tanpa-kunci-rumah-tanpa-isi/

Foto : koleksi Yaddie Jossmar.com

Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?   Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha, Judul : Daur VI – Siap...