Rabu, 11 Desember 2019

LIST DAUR KEDUA

Daur I No.054 Kemewahan Sebagai Barang Mainan




Daur-I • 54

Kemewahan Sebagai Barang Mainan


Lebih 40 tahun Sapron dijejali oleh ceramah-ceramah Markesot. Isi kepala, dada dan perut Sapron adalah ceramah Markesot. Bahkan setiap helai rambutnya, setiap butiran darahnya, bermuatan ceramah Markesot.

Mengalirnya darah di tubuh Sapron itu sendiri seakan-akan adalah ceramah Markesot. Gerak alirannya, speed-nya, iramanya yang tercermin pada dinamika cepat lambat kembang kempis jantungnya. Bahkan kotoran di antara kuku kaki dan daging jari-jari Sapron tidak lain tidak bukan adalah ceramah Markesot. Tausiyah Markesot. Mauidhah-hasanah Markesot. Makalah simposium Markesot. Artikel dan puisi Markesot. Mampuslah Sapron dimarkesoti sepanjang dan hampir seluruh kehidupannya.

Akan tetapi Sapron terus dan tetap setia kepada Markesot.

Mungkin karena terikat secara persaudaraan sejak masa kanak-kanaknya di dusun dulu. Markesot tukang dongeng, Sapron salah satu audiensnya di Langgar dulu.

Tetapi ternyata sampai Sapron mengikutinya di Patangpuluhan, hidup Markesot tetap saja mendongeng dan mendongeng.

Jelas Sapron tidak mempersoalkan itu. Sejarah nasib membawanya ke situ, entah bagaimana prosesnya dulu. Sapron sendiri tidak punya prestasi apa-apa, tapi sekurang-kurangnya ia punya cinta dan kesetiaan kepada Markesot. Dan karena sejarah cinta dan persaudaraan sejati itu maka ia selalu memaafkan Markesot dan tidak menuntut apa-apa.

Apalagi jelas Markesot tidak pernah bicara apapun tanpa ada Tuhan di dalamnya. Markesot tidak pernah melakukan apapun yang bermuatan keperluan pribadinya. Markesot tidak pernah meminta apa-apa untuk dirinya sendiri kepada siapapun kecuali Tuhan. Markesot tidak pernah mengganggu orang, menyakiti orang, mengemis kepada orang. Markesot tidak pernah mengejar harta, jabatan, membangun karier atau pencapaian-pencapaian apapun yang sifatnya keduniaan.

Bagi Sapron Markesot hanya semacam gelandangan. Dan karena gelandangan tidak ada alamatnya di peta masyarakat dan di buku urusan pemerintahan kecuali untuk diremehkan dan dihardik, maka Sapron diam-diam merasa terhormat dan bangga untuk menjadi penjaga dan pengawal seorang gelandangan.

Kalau suatu hari Markesot marah di jalanan karena orang ngawur mengendarai mobil atau motor, atau petugas pom bensin mengkorupsi volume literan jualannya, atau ada preman mentang-mentang, atau apapun saja — Sapron yang jaga-jaga. Markesot dikenal sebagai orang yang sehari-harinya lembut dan agak pendiam. Tapi sewaktu-waktu ia mendadak sangat tegas, bisa membentak-bentak siapa saja termasuk orang-orang berdasi.

Tapi terus terang sebenarnya tulang punggung keberanian Markesot adalah adanya Sapron. Kalau terjadi perkelahian benar, Sapron yang bertandang. Markesot marah kepada Tentara yang menendang seorang sopir gara-gara salah parkir, Tentara itu tidak berani bertindak apa-apa kepada Markesot, karena memperhitungkan ada lelaki gagah gempal di belakang Markesot. Ya Sapron itu.

Markesot yang berlagak, Sapron yang jaga-jaga. Tidak seorang pun berpikir bahwa sebenarnya Markesot tidak sehebat dan sepemberani itu. Rumusnya sederhana, kalau Markesot sendiri, ia sangat lembut. Kalau ada Sapron, mendadak tegas.
***
Sapron, pemuda gagah tidak jelas nasibnya sebagaimana Markesot, tuan rumah permanen rumah hitam Patangpuluhan. Seorang lelaki yang kesetiaannya boleh dikatakan membabi-buta kepada Markesot sejak dulu kala. Terkadang Sapron ini yang diminta mengantar Markesot boncengan motor, kemudian tak pulang beberapa lama. Kalau teman-teman menanyakan kepadanya, “Ron, Markesot kamu antar ke mana?”

Sapron menjawab, “Minta turun dari motor di dekat rel kereta luar kota sana, saya tidak tahu lantas ke mana dia”

Sapron rajin melukis kaligrafi kalau malam, siangnya makelaran apa saja: motor, barang-barang, kadang mobil. Sapron mewarisi ilmu dan keterampilan otomotif dari Markesot. Bahkan pernah disewakan tempat kecil untuk buka bengkel motor, tapi bubar.

Sapron pintar mesin, mengerti manusia pada umumnya, tetapi tidak memahami manusia yang datang kepadanya membawa motor rusak. Sapron tidak tahu kalau mereka lebih senang ditipu daripada disikapi secara jujur dan murah hati.

Kalau ada motor rusak datang, seharusnya Sapron mendramatisir dan menyeram-nyeramkannya.
“Wah, Pak, ini butuh waktu antara lima hari sampai seminggu. Spare part ini dan ini dan ini harus ganti….”

Sapron bodoh. Ia periksa motor, ia tidak menemui kerusakan, hanya perlu pembenahan dan fixing. Sapron menyentuh beberapa onderdil, diini-itu beberapa saat, kemudian motor jadi fix dan jrong.

“Sudah beres, Pak”.

“Berapa biayanya, Pak?” si empunya motor menjawab.

“Ah, wong cuma nyentuh-nyentuh sedikit kok”, jawab Sapron, “nggak usah biaya Pak, Sampeyan bawa saja”

Sapron tidak memperoleh upah dari kerjanya karena kemurahan hati dan rasionalitas berpikirnya. Juga tidak mendapat laba dari pembelian onderdil-onderdil baru yang mestinya bisa dikarang-karang, karena toh umumnya pengguna motor tidak paham-paham amat atas liku-liku mesin motornya.

Sapron bukan pedagang. Apalagi kapitalis. Ia jenis petani pengabdi.

Tidak berarti Sapron orangnya kalem dan halus. Sesungguhnya tidak ada siapapun di sekitar Markesot yang tidak usil, punya kecerdasan yang aneh, sangat suka berkelakar dan keputusan-keputusan hidupnya sering menyimpang dari kebiasaan umum.

Suatu siang Sapron menjemput Markesot di Stasiun Kereta. Sapron berlari menuju Markesot yang barusan turun kereta, membelah-belah kerumunan sambil teriak-teriak: “Cak Sot! Cak Sot! Ampun…ampun…”

“Lho kenapa?”, Tanya Markesot.

“Mohon saya jangan dimarahi, Cak Sot”

“Ah, ada apa. Kapan saya pernah marah”

“Bener lho ya, jangan marah”

“Ada apa, ada apa”

“Mercy-nya Cak Sot hilang…memang tadi saya parkir agak jauh di luar sana, barusan saya cek kok hilang. Gila benar maling-maling sekarang ini”

Markesot kaget dan terpana. Wajahnya pucat mendadak. Sorot matanya kosong. Sesaat kemudian pingsan, tubunya roboh, ditangkap Sapron dan satu dua orang di sekitarnya. Kemudian diangkat keluar menerobos kerumunan orang.

Ada yang menawarkan kepada Sapron untuk diantarkan ke kantor kepolisian terdekat, lapor Mercy dicuri orang. Lainnya menawarkan membayar taksi untuk membawa Markesot ke Rumah Sakit. Tapi Sapron menolak dengan halus dan mengucapkan terima kasih. Sapron hanya membawa Markesot ke sebuah pojok, mendudukkan di bongkahan batu bersandar pagar. Sapron memijit-mijit kepala Markesot. Markesot memejamkan mata dan mungkin saja ia  tertidur.

Beberapa lama kemudian ketika orang-orang sudah tidak berkerumun lagi, mereka berdua akhirnya tidak menjadi perhatian sekitarnya, Sapron diam-diam mengambil motornya, memboncengkan Markesot dan menghilang dari komunitas kecil yang tadi ikut gugup oleh teriakan Sapron “Mercy-nya Cak Sot hilang!”

Apa maksudnya mobil Mercy hilang dicuri orang? Atas dasar fakta sejarah yang mana dan bagaimana sehingga Markesot berkemungkinan punya mobil Mercy? Untuk apa Sapron teriak-teriak berlagak kehilangan mobil mewah? Pencitraan di komunitas Stasiun? Iseng-iseng memperindah kehidupan dengan khayalan di kalangan sesama orang miskin? Atau teknik pameran sosial agar masyarakat menyangka mereka orang kaya?

Semua itu mungkin. Tapi yang pasti adalah bahwa kemewahan tidak pernah berperan lebih dari barang mainan di mulut Markesot dan komunitasnya.

https://www.caknun.com/2016/kemewahan-sebagai-barang-mainan/

Koleksi : yaddie Jossmart.com


Daur I No.053 Begini Ini Indonesia? Begini Ini Negara?



Daur-I • 53

Begini Ini Indonesia?
Begini Ini Negara?

Akhirnya Tonjé dan Kasdu pun kembali ke keluarganya. Tinggal rumah hitam Patangpuluhan, tenggelam ke lubuk terdalam di lautan kesunyian.

Pas mereka mau pergi, Sapron, seorang yang sejak awal tinggal di Patangpuluhan dibawa oleh Markesot dari dusun, muncul. Ketika teman-teman Markesot berkumpul, Sapron tidak tampak. Begitulah masyarakat rumah hitam Patangpuluhan, tidak punya akhlak, datang tidak permisi, pulang tak pamit.

Siapa Sapron?

Kalau Markesot lenyap ke mana, semua berpikiran mirip-mirip. Yaaa di sekitar mengejar Kiai Sudrun.

Siapa Sudrun? Lapisan-lapisan tertentu masyarakat Patangpuluhan bertanya-tanya.

Kiai Sudrun? Kiai?

Belum pernah jelas Sudrun itu Kiai apa. Guru ngajinya dulu, atau Mursyid thariqatnya, atau orangtua yang mengasuh Markesot di masa kanak-kanak. Yang paling mendekati kebenaran kelihatannya ya mereka berdua adalah sahabat sesama gelandangan.

Seorang warga rumah hitam asal Madura, dulu, pernah mengatakan hati-hati kepada sebutan Kiai.

“Jangan samakan dengan Ulama”

Dia menjelaskan kalau sebutan Ulama itu berdasarkan kualifikasi ilmu dan akhlak seseorang, dan yang melegalisasikan keulamaan seseorang adalah Tuhan sendiri. Tapi kalau Kiai, asal seseorang disebut Kiai oleh sekumpulan manusia, atau bahkan oleh hanya seorang, maka ia sah menjadi Kiai. Bahkan tidak hanya seseorang, segala sesuatu bisa digelari Kiai: hewan, benda, pohon, keris, akik, gamelan, dan apa saja.

Jadi jangan terpesona kepada Kiai Sudrun. Jangan dimistik-mistikkan, diklenik-klenikkan, diseram-seramkan, dihantu-hantukan, dijin-jinkan, diwali-walikan, apalagi dimalaikat-malaikatkan.
***
Markesot mencari Kiai Sudrun itu mungkin sekedar peristiwa psikologi biasa. Peristiwa konsultasi, atau urusan tanya jawab pengetahuan yang normal-normal saja. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ternyata Kiai Sudrun itu khayalan Markesot belaka. Markesot meracuni orang-orang di sekitarnya dengan bisik-bisik khayalan tentang seorang tokoh misterius.

Mungkin Markesot sudah memuncak frustrasinya. Keadaan sudah semakin darurat, tapi kok sampai hari ini tidak ada instruksi apa-apa ke Markesot.

Perintah? Perintah untuk apa? Untuk mengatasi keadaan? Untuk mengamuk? Untuk triwikrama?

Untuk menggalang massa dan memaksakan Revolusi? Untuk menggulingkan Pemerintahan?

Atau untuk seperti dulu melaksanakan Ilmu Sirep kepada Raja agar ia legowo untuk lengser? Untuk menggedor pintu-pintu, gedung-gedung, kantor-kantor dan Istana, membentak, menggeram, berteriak, memekik, dan merombak secara hampir total semua tatanan ini dari kekacauan yang makin menjadi-jadi?

Apakah Markesot sedang bermimpi mengumpulkan jutaan orang, diajak mengangkat tangan, menengadahkan kepala, membuka lebar telapak tangan mereka ke langit, kemudian di langit tiba-tiba tertera tulisan:

“Begini ini Indonesia?”

Markesot menggerutu seolah sedang menjawab tulisan di langit:
“Ratusan tahun aku mengenali Indonesia, dan yang begini ini bukanlah Indonesia”

“Indonesia adalah anak bungsu Bangsa Indonesia. Tapi Indonesia yang ini bukanlah Indonesia yang saya kenal sebagaimana ketika ia dilahirkan oleh Bangsanya”

Kalau lembaran tulisan ini bermurah hati memberi ruang, maka tidaklah cukup untuk memuat festival gerutuan Markesot.

“Bangsa yang begini bukanlah bangsa Indonesia. Manusia yang begini, bukanlah manusia Indonesia. Tata kelola alam dan kehidupan yang begini, bukanlah tata kelola Indonesia. Kebudayaan dan peradaban yang begini, bukanlah kebudayaan dan peradaban Indonesia”

Mosok begini ini Negara?”

“Yang akarnya begini, bukanlah akar Negara. Yang batang pohonnya begini, yang dahan rantingnya begini, yang daun dan bunganya begini, bukanlah Negara. Maka tidak begini pulalah buah yang dihasilkan oleh tata Negara”

“Negara kok dikuasai oleh Pemerintah yang diupahnya. Negara kok dimiliki oleh pejabat-pejabat yang digajinya”

“Pemerintah kok mengaku mereka adalah Negara”

“Rakyat kok bawahannya Pemerintah. Rakyat kan pemilik tanah air, yang mendirikan Negara dan mempekerjakan Pemerintah”

Kemudian suara Markesot sedikit mengeras, meskipun tetap dalam lingkup gerutuan dan mimpi ke dalam dirinya sendiri:

“Wahai Bangsa, bangunlah dari tidur lelap akal pikiran kalian. Keluarlah beramai-ramai dari penjara besar yang mengurung kalian. Jebollah tembok-temboknya”
***

Tetapi memangnya siapa Markesot?

Kalau sesekali dunia menoleh kepada Markesot, dunia sinis bergumam: “Who do you think you are?”
Bisa apa dia? Nunggu-nunggu dawuh seolah-olah dia kakang-kawahnya Ratu Adil. Seakan-akan dia Master of Civilization. Lagaknya seperti Pendekar Zaman.

Coba tanyakan kepada Sapron, yang sudah hidup mengawal Markesot hampir 40 tahun: apa yang pernah dicapai oleh Markesot selama rentang waktu itu? Apa prestasinya? Apa reputasinya?

Dia pikir Negeri Khatulistiwa ini akan hancur kalau tidak ada dia. Disangkanya Bangsa Khatulistiwa ini ada yang mengenalnya. Memang ada sih sedikit-sedikit samar-samar sesekali terdengar nama Markesot. Tetapi ia bukan siapa-siapa. Markesot bukan faktor.

Markesot benar-benar sama sekali bukan faktor
.
Tetapi Sapron hafal, jangan sampai pernyataan seperti ini terdengar oleh telinga Markesot, sebab itu akan menjadi peluang baginya untuk berpanjang-panjang menjawabnya, bahkan memperlebar-lebar argumentasinya.

“Kalau Nabi Musa memukulkan tongkatnya dan lautan terbelah, menurut kalian faktor utama peristiwa itu adalah Nabi Musa ataukah tongkatnya?”

Jangan pancing Markesot untuk berceramah.

“Bukan kedua-duanya. Nabi Musa, apalagi sekedar tongkatnya, adalah sekedar alat dari faktor yang menjadi asal-usul dan pencapaian peristiwa laut terbelah itu. Hanya alat. Hanya pelengkap penderita.

Bukan subyek utama. Subyek utamanya adalah Sang Maha Faktor”

Jangan kasih panggung kepada Markesot.

“Banjir penenggelam dua pertiga Bumi bukan karya Nabi Nuh. Hujan meteor, super-gempa, badai pelibas peradaban, bukanlah bikinan Nabi Luth. Nabi Ibrahim tidak sakti sehingga tak terbakar api, dan bukan Ibrahim pula yang memasukkan seekor lalat ke dalam kepala Raja Namrud, dan membuat lalat itu menghuni kepalanya selama 400 tahun”

Jangan menyia-nyiakan waktu dan energi hidupmu dengan membukakan peluang kepada Markesot untuk menyiksa telingamu.

“Masyarakat yang mendustakan ajaran Allah yang diperintahkan untuk disampaikan oleh Nabi Sholeh, pada hari Kamis mendadak berwarna kuning wajah mereka. Jumatnya berubah merah. Sabtu esoknya menghitam pekat, sebelum dilindas dan dimusnahkan seluruhnya pada hari Minggu. Nabi Sholeh bukanlah tukang sulap agung melebihi Houdini atau Chris Angel yang bermain-main warna pada wajah manusia”

https://www.caknun.com/2016/begini-ini-indonesia-begini-ini-negara/ 
Koleksi Yaddie-Jossmart.com

Daur I No.052 Peradaban Bayi-Bayi

 

 Daur-I • 52

Peradaban Bayi-Bayi

Orang yang menjalani hidup di jalan keinginan, cukup berbekal nafsu, ditambah sedikit ilmu yang kompatibel dengan nafsunya itu. Tapi orang yang melakoni kehidupan mencari yang ia butuhkan, bekal yang ia perlukan sejak awal adalah ilmu.

Bayi adalah tahap manusia ketika sama sekali masih belum mengerti beda antara keinginan dengan kebutuhan. Bayi ditemani staf-stafnya Tuhan  untuk menunjukkan kepada Ibunya apa yang ia butuhkan, tapi si bayi itu sendiri tidak mengerti bahwa itu kebutuhan.

Kasdu dulu mendengar Markesot pernah nyeletuk, “Sekarang ini sampai dewasa manusia tidak belajar membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Rancangan pembangunan, kreasi kebudayaan dan teknologi, hampir seluruh sisi peradaban ummat manusia di abad ini, menunjukkan sangat jelas ketidakmengertian pelaku-pelakunya bahwa yang mereka bangun dengan gegap-gempita itu bukan kebutuhan, melainkan keinginan.”

“Yang berlangsung sekarang ini adalah peradaban bayi-bayi. Bayi tidak bisa disalahkan, meskipun ia membanting gelas, melempar Ibunya dengan piring, atau bahkan membakar rumah. Bayi tidak percaya, atau tepatnya, belum paham, ketika dikasih tahu bahwa yang ia lakukan adalah perusakan dan penghancuran”.

“Saya sudah bersumpah kepada diri saya sendiri”, kata Markesot, “tidak akan ngasih tahu apa-apa kepada bayi. Bayi memimpin masyarakat, menjadi kepala negara, menyusun pasal hukum, mendaftari para calon penghuni neraka, menjadi pemegang urusan hal-hal yang ia muati dengan keinginan dan nafsunya. Tidak. Saya tidak akan senggol mereka. Kecuali hal itu menjadi bagian dari tagihan Tuhan kepada saya kelak di akhirat, saya tidak akan sentuh. Dan apakah itu tagihan atau bukan, saya tidak punya pengetahuan kecuali Tuhan menginformasikannya kepada saya”.
***
Ada saat-saat Kasdu dan Tonjé menyesali bahwa dalam hidup yang cuma sekali dan sebentar ini mereka kenal Markesot.

Pergaulan dengan Markesot membuat pandangan hidup mereka jadi kacau. Kehidupan di dunia ini menjadi tampak berbeda. Sangat berbeda. Dunia ternyata bukan kampung halaman. Bukan rumah. Bukan tempat di mana manusia membangun kemapanan dan kejayaan. Dunia ini hanya area kerja bikin batu-bata, untuk bangunan rumah mereka kelak di kampung halaman yang sejati.

Ada saat di mana pandangan itu membuat hidup mereka menjadi tegar, tangguh dan tenang. Tapi di saat lain muncul situasi di mana mereka seperti ditimpa kesedihan dan rasa putus asa.
“Ngawur orang-orang itu”, Tonjé nyeletuk.

“Siapa? Ngawur bagaimana?”, Kasdu bertanya.

“Kebanyakan orang yang mengenal saya menyimpulkan bahwa hidup saya ini serabutan dan spekulatif”

“Bukannya memang begitu?”

“Saya menjalani hidup tidak dengan spekulasi, melainkan dengan iman yang jelas, kepercayaan yang teguh kepada kehidupan”

“Maksud orang-orang itu kamu tidak punya pekerjaan yang pasti sebagaimana umumnya orang”

“Berani dan meyakini bisa hidup tanpa pekerjaan yang pasti, apa artinya itu selain mencerminkan iman yang total kepada Tuhan”

“Mungkin mereka tidak tega melihat anak istrimu kalau kamu tidak punya profesi yang jelas”

“Istriku mau kawin dengan saya justru karena kagum kepada keberanian dan iman saya itu”

“Apakah iman kepada Tuhan berarti hidupmu bergantung kepada kemurahan Tuhan melulu?”

“Lho tapi saya selalu bekerja keras”

“Kerja apa?”, Tonjé tertawa keras, “kerja apaan?”
***
“Ya seketemunya. Pokoknya kerja keras. Tidak tergantung satu jenis pekerjaan. Saya bekerja keras melangkah dari pekerjaan satu ke pekerjaan yang lain, yang kebanyakan tidak saling berhubungan. Selesai satu pekerjaan, cari pekerjaan berikutnya”

“Itu namanya tidak punya pekerjaan tetap”

“Kan yang utama pekerjaan, tetap atau tidak tetap itu soal lain”

“Semua orang menyimpulkan bahwa lelaki, apalagi suami, terlebih lagi seorang bapak atau kepala keluarga, haruslah punya pekerjaan tetap”

“Di mana ada pekerjaan tetap untuk saya? Saya tidak mau jadi anak buah, juga tidak mau jadi boss. Satu-satunya kemungkinan hanya saya mengbossi diri saya sendiri dan menganakbuahi diri saya sendiri”

“Terus letak orang selain kamu di mana?”

“Ya di hadapan saya di setiap pekerjaan. Saya butuh sebanyak mungkin orang untuk berunding, tawar menawar, bertransaksi, atau juga tolong-menolong, dalam posisi tidak sebagai boss atau anak buah”

“Apakah menjadi anak buah atau menjadi boss itu salah?”

“Sama sekali tidak. Cuma saya tidak sanggup berada di posisi seperti itu. Saya sekeluarga butuh makan dan mengawal masa depan anak-anak saya, dan saya bekerja keras untuk itu, tapi hanya bisa di luar posisi boss atau anak buah”

“Tapi sudah menjadi kesimpulan umum bahwa setiap lelaki harus punya pekerjaan tetap. Di situ letak harga diri hidupnya”

“Pekerjaan tetap kamu apa?”

“Nggak ada juga sih…”
***
Mereka berdua tertawa berkepanjangan. Tonjé dan Kasdu sadar benar bahwa hidup mereka memang paling kacau dibanding teman-teman sesama jebolan Patangppuluhan.

“Tapi kan tidak sekacau Markesot”, kata Kasdu.

“Markesot itu bukan kacau”, kata Tonjé, “tapi pengecut”

“Kok pengecut?”

“Tuhan bilang harta dan anak adalah fitnah dalam kehidupan di dunia. Maka dia tidak beristri tidak beranak. Mau enaknya sendiri”

“Saya sepertinya mengerti pertimbangan Markesot”

“Gimana”

“Kan Tuhan juga, melalui Nabi-Nya, menentukan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah hiasan. Dan hiasan yang terindah adalah istri yang salehah, keluarga yang sakinah”

“Terus?”

“Markesot ngeri untuk punya istri dan anak, atas dua pertimbangan. Pertama, bisa saja punya istri salehah dan membangun keluarga sakinah. Tapi anak-anak kita besok-besok? Apa kita jamin bisa juga? Belum lagi cucu? Cicit?”

“Di situ itu gunanya iman dan kepasrahan kepada Tuhan”

“Markesot khawatir seluruh anak-cucunya sampai turunan keseratus keseribu pun masih membawa risiko tanggungjawab Markesot. Kalau cicitnya besok-besok melakukan kedhaliman, Markesot ikut menanggung dosanya. Karena hidup ini mengendarai waktu, di dalam ruang. Hidup ini akseleratif, struktural dan historis, dari belakang maupun ke depan”

“Markesot memang ruwet”

“Pertimbangan yang lain yang membuat Markesot tidak berkeluarga lebih mengerikan. Tuhan menyuruh kita berproses menyatukan diri dengan-Nya. Kita harus tidak eman kehilangan apapun asalkan diterima bertauhid kepada-Nya. Kehilangan rumah dan harta benda, bisa kita tanggung. Tapi kehilangan anak istri, demi penyatuan dengan Tuhan, berani kamu?”

“Oo itu yang yang Markesot takut”

“Ada tokoh besar menyatakan ‘Wahai dunia, jangan coba rayu-rayu aku, sebab aku sudah mentalak-tiga kamu’. Markesot bertanya, talak tiga itu termasuk ke anak dan istrinya atau tidak? Markesot waktu itu membisiki saya: ‘Tokoh itu punya dua putra. Yang satu diracun oleh istrinya, yang lain dipenggal kepalanya oleh musuhnya’. Berani kamu menantang dunia untuk menganggapnya kecil dan meninggalkannya?”

“Lho tapi kalau Markesot jadi panutan, semua orang lantas tidak kawin, tidak berkeluarga, mandeg dong polulasi dan peradaban manusia?”

“Itu sudah saya tanyakan kepada Markesot dulu”

“Apa jawabnya?”

“Itu namanya kiamat. Alhamdulillah. Semakin cepat kiamat tiba, semakin segera jelas keadaan kita. Daripada hidup di dunia menantikan akhirat di dunia yang tanpa akal, penuh penghuni sakit jiwa, dan disiksa oleh bangunan-bangunan kemunafikan yang tak ada hentinya”

https://www.caknun.com/2016/peradaban-bayi-bayi/

Koleksi Yaddie-Jossmart

Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?   Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha, Judul : Daur VI – Siap...