Kamis, 30 Januari 2020

Daur I No.080 Semoga Yang Kaya Makin Kaya

 

Daur-I • 80

Semoga Yang Kaya Makin Kaya

Sebelum masuk gerbong dan berjumpa dengan rekan-rekannya komunitas filosof, Markesot tak sengaja sudah menyiapkan semacam doa.

“Ya Allah, jadikanlah orang-orang yang kaya menjadi semakin kaya, agar supaya kami semakin terjamin untuk mengais sisa-sisa makanan mereka”

“Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi para koruptor untuk melaksanakan hajat korupsinya, agar meningkat kesembronoan mereka terhadap harta bendanya, sehingga semakin terbuka pula peluang bagi kami untuk mencopet, menjambret, menggangsir atau syukur merampok rumah mereka”

“Ya Allah, mudahkanlah jalan kami untuk mengurangi dosa-dosa para koruptor dan para perakus harta, dengan cara mengurangi kekayaan mereka meskipun hanya sedikit”

“Terimalah pengorbanan kami, catatlah pencurian kami sebagai dosa. Tapi juga terimalah dosa-dosa ini sebagai wujud  pengorbanan kami untuk memperjuangkan proses penyeimbangan distribusi rahmat-Mu, keseimbangan sosial ekonomi masyarakat, serta cicilan rahmatan lil’alamin”

***
Di tengah komunitas komunitas filosof di gerbong-gerbong, bawah jembatan, ‘Wesel 16’ atau manapun tempat yang memungkinkan mereka berteduh sementara atau bersarang permanen, ada yang memanggil Markesot Kiai, saat lain dipanggil Tumenggung atau Kopral.

Disebut Kiai karena Markesot paling sok mengait-ngaitkan apa-apa dengan Tuhan. Dipanggil Tumenggung karena Markesot yang paling bisa berhubungan dengan lingkungan sosial di luar komunitas mereka. Adapun Kopral, karena Markesot yang punya sambungan dengan titik-titik penting peta tokoh-tokoh lokal-regional-nasional yang masyarakat menyebutnya Preman,  Gali, Korak, dari level Gentho, Dauri, Buto Kempung, Buto Mati, Tikyan dan seterusnya.

Sebentar. Tadi disebut Wesel-16? Apa itu? Kereta api berjalan berdasar atau di atas atau mengikuti rel. Kapan rel digeser, kereta api ngikut.

“Yang berkuasa selalu yang bawah”, kata Markesot, “kereta api yang di atas, bisa anjlog bisa terguling atau berjalan lancar, tergantung relnya. Problemnya, rel yang sangat dahsyat kekuasaannya ini, diatur dan taat kepada pegawai Stasiun….”

Untuk memindahkan rel, digunakan Wesel yang digerakkan secara manual ataupun dengan menggunakan motor listrik, atau sekarang bisa pakai komputer digital. Jadi wesel itu bukan hanya kertas hijau-kelabu tanda pengiriman uang di jaman Mataram pasca-Majapahit. Wesel-16 artinya alat ke-16 di sebuah Stasiun untuk pengaturan rel.

***
Tapi apa hubungannya dengan komunitas kaum filosof? Yang berkaitan dengan komunitas filosof bukan kereta apinya, juga bukan relnya, apalagi dengan weselnya. Hanya gerbong rusaknya.

Para filosof tidak ada urusan atau kepentingan terhadap Perusahaan Kereta Api. Pertama karena perusahaan tidak butuh orang, yang dibutuhkan adalah uang sebanyak-banyaknya. Kedua, kereta api tidak mengaitkan diri dengan orang, yang ia butuhkan adalah penumpang. Itu pun tidak harus benar-benar penumpang, yang penting siapapun dan apapun saja yang membeli tiketnya.

Bahkan kalau ada Jin membayar untuk memborong satu gerbong, di-support Setan membeli 200 tiket, tapi Jin dan Setan tidak naik kereta itu dan membiarkannya kosong: perusahaan kereta api tidak berkeberatan apa-apa. Malahan itu lebih baik dan aman bagi petugas kereta api maupun bagi para penumpang, daripada mereka duduk segerbong dengan anggota-anggota Jin dan Setan.

Jadi Wesel-16 itu sekadar dipakai saja sebagai sebutan untuk memudahkan siapapun menemukan lokasi Las Vegas di dekat Wesel-16 itu.

Lho kok Las Vegas? Di area sebelah Wesel-16 itu ada tempat perjudian, pelacuran, minuman keras, mungkin juga narkoba, bertaburan lelaki perempuan banci berkomunitas pada jam-jam tertentu, melaksanakan hajat-hajat mereka, pada tingkat ekonomi terendah.

Ada gerumbul dedaunan yang sangat rimbun di beberapa sudut. Lelaki perempuan banci melaksanakan transaksinya di balik gerumbul daun itu. Kalau ada siapapun yang disuruh orang untuk menjadi Presiden, Gubernur atau Walikota strip Bupati, pertama-tama yang harus ia datangi adalah Wesel-16. Itulah usus terdalam kehidupan rakyatnya.

***
Tetapi bukan Wesel-16 area yang didatangi Markesot malam itu. Setelah menyusuri rel sekian puluh kilometer, ia bermaksud menginap di Rumah Singgah kaum filosof, yakni gerbong rongsokan, yang mungkin di dalamnya bisa ia jumpai sejumlah kawan lamanya, atau mungkin banyak juga pendatang-pendatang baru yang Markesot belum mengenalnya.

Sejak lama sejumlah filosof meminta kepada Markesot untuk diajari nyluring. Sebagaimana dimafhumi bersama, menjadi Maling Cluring adalah cita-cita paling ideal bagi kalangan tertentu di komunitas filosof.

Keterampilan mencopet, umpamanya, sudah merupakan tingkat kecanggihan yang umum jangan meremehkan. Pada seorang pencopet, keprigelan jari-jari dan tangan, peletakan badan di tengah keramaian dan keluwesan seluruh batang tangan, kejelian terhadap posisi dan momentum, pendayagunaan kecepatan dan kehalusan, berani tanding melawan para pesulap level tertentu.

Tetapi jurus copet masih tergolong rendah dalam konstelasi ilmu lelaku para filosof. Kalau jambret adalah gabungan antara kekurang-terampilan mencopet dicampur keberanian, mental nekad dan sedikit kebodohan.

Meskipun demikian jangan abaikan ada pencopet kaliber internasional. Tidak sekedar korban beli tiket naik kereta api kemudian menggerayangi koper-koper dan tas-tas tatkala para penumpang tidur lelap. Atau sewa pakaian necis masuk Mal dan gedung-gedung fasilitas umum melaksanakan sejumlah ilmu sulap memindahkan uang atau perhiasan atau barang dari suatu koordinat ruang ke koordinat lainnya.

***

Pencopet internasional punya modal besar. Ke kantor Imigrasi bikin passport. Membawa map berkas-berkas identitas ke Kedutaan Negara yang dimaksud untuk mendapatkan visa. Beli tiket pesawat ulang-alik. Selama sekian belas jam di pesawat menerapkan “innalladzina amanu wa hajaru wa jahadu”: sesungguhnya mereka yang beriman, berhijrah dan berjuang….

Percaya bahwa sangu dan barang para pelancong lintas negara pasti lebih banyak dibanding penumpang kereta, bis atau kapal antar pulau. Berhijrah, bergerak pindah-pindah wilayah, tidak hanya dari Pasar Senen ke Pasar Beringhardjo, dari Stasiun Tugu ke Stasiun Gubeng, tapi dari Jakarta ke Sydney atau Abu Dhabi atau Seoul atau minimal Hongkong ulang-alik.

Tetapi pencopet internasional semacam itu bukan minat umum komunitas filosof. Mereka eksklusif. Segmen sosiologisnya tertentu. Berasal dari sebuah wilayah Kecamatan di sebuah pulau. Tradisi budaya dan pendidikan sejak kanak-kanaknya mempersiapkan itu semua. Dan itu turun temurun.
Maling Cluring, yang dimintakan aji-ajinya kepada Markesot, lebih sederhana dan pragmatis.

Sasarannya adalah rumah, kantor atau bangunan-bangunan. Maling kelas rendah meng-gangsir, melubangi bagian bawah dari tembok rumah, berperang melawan cor-coran batu semen. Kelas di atasnya mendobrak pintu atau menjebol jendela. Kelas lebih canggih menggunakan keterampilan olah batang-batang besi kecil untuk membuka gembok dan rumah kunci.

Maling Cluring cukup menggunakan cahaya untuk memasuki rumah atau ruangan berdinding. Asal ada cahaya melintas menyambung bagian dalam dan bagian luar, bisa di-cluring-i. Ada yang kemampuannya terbatas, cahaya harus berasal dari dalam keluar, baru ia bisa masuk. Semester di atasnya bisa cahaya dari luar. Atau asalkan ada cahaya.

Markesot belum memenuhi permintaan Ilmu Cluring. Ia masih selalu menjawab: “Harus lulus dulu satu ilmu, baru mungkin mempelajari cluring”

“Ilmu apa itu?”, mereka bertanya.

“Ilmu tidak mencuri”, jawab Markesot.

https://www.caknun.com/2016/semoga-yang-kaya-makin-kaya/ 
Koleksi Buku Yaddie Jossmart
 


Daur I No.079 Para Filosof di Rongsokan Gerbong

 

Daur-I • 79

Para Filosof di Rongsokan Gerbong

Menjelang tengah malam Markesot berhenti di sebuah stasiun dan kelihatannya akan bermalam di situ.

Di sejumlah stasiun kereta api ada gerbong-gerbong lama yang terbengkalai. Dipakai sudah tidak layak, dibuang tidak ada tong sampah yang cukup untuk memuat gerbong kereta. Gerbong rongsok itu oleh sejumlah orang yang mengerti ilmu hidup biasanya dijadikan bermanfaat. Misalnya untuk tempat tinggal, untuk sementara waktu atau seterusnya kalau mungkin.

Di dalam gerbong sampah itu mereka berteduh dari panas dan hujan. Untuk tidur jika malam. Atau untuk ngrumpi sesekali dengan sesama handai taulannya untuk saling mengungkapkan filosofi-filosofi kehidupan, kebijaksanaan, kesabaran dan ketabahan.

Di antara para filosof itu ada yang bujangan, ada yang bersama keluarganya. Tujuan mereka berkomunitas di dalam gerbong rongsok itu antara lain untuk menjaga jangan sampai ada barang atau sesuatu yang tidak bermanfaat. Secara khusus mereka juga melaksanakan suatu wisdom, misalnya, melatih dengan lelaku total untuk ikhlas tidur di tempat yang semua manusia tidak mau tidur padanya.

Mereka juga memakan makanan yang bisa dikatakan semua orang tak ada yang mau memakannya, dan itulah sebabnya mereka membuangnya karena dipahami sebagai sisa-sisa makanan. Mereka pun memakai pakaian yang hampir bisa dipastikan semua orang tak mau memakainya. Demikian pula dalam hal-hal lainnya.

***
Komunitas filosof itu merasa kasihan kepada kebanyakan orang yang hidupnya sangat ringkih dan penuh ketergantungan. Hampir semua orang harus makan makanan sehat agar tidak sakit, sementara para filosof itu hampir tidak pernah sakit meskipun memakan makanan yang dibuang orang ke tong-tong sampah, yang sudah tidak segar, sudah basi dan sama sekali tidak enak rasanya.

Para filosof heran kenapa orang baru bisa makan kalau makanannya enak dan segar. Kenapa penduduk bumi baru memakai pakaian kalau pakaiannya bagus, bersih, halus dan necis. Kenapa makhluk di dunia ini baru bisa tenang hatinya kalau sudah punya rumah sendiri, ruangan tertutup sendiri, ranjang tidur sendiri, kamar mandi sendiri. Kalau mereka masih menyewa, mereka merasa belum sukses hidupnya, bahkan merasa belum ‘jadi orang’.

Komunitas filosof itu tidak bisa memahami kenapa untuk menjadi orang, makhluk-makhluk Tuhan mempersyaratkan bahan-bahannya adalah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, bahkan kekayaan dan kemegahan. Padahal semua itu tidak terlalu ada kaitannya dengan orang.

Bahkan kabarnya dalam rangka memperjuangkan diri menjadi orang, para penghuni bumi ini merasa penting untuk menyakiti orang, membohongi orang, menganiaya orang, menindas orang, mencuri milik orang, menyingkirkan orang, sampai-sampai juga rela menyelenggarakan peperangan di antara sesama orang, membunuh berjuta-juta orang, dan semua itu tujuannya adalah agar menjadi orang.

***
Demikianlah di dalam gerbong-gerbong buangan orang itu para filosof biasanya melepas lelah di bawah atap gerbong itu sesudah mencari sisa-sisa makanan sekitar restoran, mal, supermarket, atau rumah orang-orang kaya.

Terus terang, kehidupan di gerbong-gerbong semacam itu adalah bagian sangat penting dari kehidupan Markesot berpuluh-puluh tahun. Tapi tidak perlu lantas berpikir atau apalagi menuduh sesungguhnya Markesot adalah seorang gelandangan. Apalagi hanyalah seorang gelandang.

Orang hidup mungkin cuma sekali, dan sangat pendek waktunya, sehingga tidak perlu diluangkan untuk mendengar jawaban Markesot terhadap tuduhan bahwa ia gelandangan:

“Memang cita-cita saya adalah menjadi gelandangan. Kalian keberatan? Dan karena keberatan itu maka kalian selalu mengganggu-ganggu saya, menanyakan ini-itu tak ada habisnya, minta tolong sana-sini tak ada ujungnya, tak ada batas jenis urusannya, tak ada kemenentuan ragam urusannya? Sehingga saya selalu harus mengalah, tidak pernah benar-benar punya waktu untuk menikmati cita-cita saya”

Pastilah pandangan masyarakat umum sukar meletakkan pola pikir hidup Markesot itu dalam peta nilai yang mereka pakai secara umum sehari-hari. Dalam konsep sosial, filsafat kebudayaan atau tata nilai peradaban apapun sejak Nabi Adam hingga sekarang, tidak pernah ada fenomena bahwa seorang manusia hidup di bumi bercita-cita menjadi gelandangan.

Cita-cita itu ya menjadi Kepala Gudang, sopir bis, teknisi mesin kapal, kasir Bank, semacam-semacam itu. Atau agak meningkat sedikit: jadi Camat, insinyur, dokter, ustadz, dukun, tabib, yang begitu-begitu. Atau minimal bercita-cita ingin menjadi Presiden, Menteri, Ketua Parlemen, Raja atau Ratu, orang terkaya se-Negara, syukur sedunia.

***
Bercita-cita itu yang agak pantaslah. Cita-cita kok jadi gelandangan. Mestinya gantungkan cita-citamu setinggi langit, ini Markesot kok malah bercita-cita menjadi gelandangan, tidur di gerbong-gerbong rongsokan.

Tapi bagi siapa saja yang sedikit mengenal latar belakang riwayat Markesot, hal itu agak sedikit bisa dipahami. Kira-kira yang dijadikan model oleh Markesot bab gelandangan itu kalau tidak Mbah Dul ya Gus Rur. Mereka berdua ini memang gelandangan kaliber besar.

Mbah Dul ini orang cukup kaya, putra-putrinya beres sekolah dan gambaran masa depannya. Ketika anak-anaknya sudah berkeluarga semua dan mapan hidupnya, Mbah Dul menjual rumahnya, kemudian dibelikan tanah dan ia dirikan Masjid. Setelah Masjid berdiri, beres kepengurusannya, Mbah Dul menghilang jadi gelandangan.

Benar-benar gelandangan. Benar-benar tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Kumuh. Kotor. Tidak pernah mandi. Jalan kaki terus siang malam entah ke mana saja. Kalau malam cari tempat di pojok luar pasar atau sudut bangunan untuk menggeletak.

Makan minum cari di tempat sampah atau buangan makanan lainnya. Tidak pernah minta-minta atau mengemis, kecuali sesekali kepada orang yang ia pilih dengan pertimbangan yang ia sendiri yang tahu. Awal-awalnya kepalanya dikerudungi, mungkin khawatir dikenal orang. Tapi lama-lama kerudung ia lepas, karena toh wajahnya sudah menghitam, rambutnya gimbal dan seluruh penampilannya sudah bukan orang lagi.

Kalau melihat hidupnya, sukar membayangkan Mbah Dul pernah melakukan shalat. Sayang seribu kali sayang di masa hidup Mbah Dul belum ada gerakan Takfiry, arus golongan orang beragama yang tugasnya khusus menjadi Dewan Juri iman orang lain, memberi semacam sertifikat bahwa orang itu kafir, musyrik, sesat, diadzab Tuhan dan masuk neraka.

Andaikan ketika itu sudah ada arus global Takfiry, insyaallah ramainya kebencian dan pertengkaran di antara Kaum Muslimin bisa dimulai sejak dulu, tidak perlu menunggu lama sampai era saat ini.
Memang semua itu indah dan menggiurkan. Tidak heran kalau Markesot terpesona untuk mengikuti jejak Mbah Dul.

Tapi mengikuti jejak yang mana? Berkeluarga dan mencukupi putra-putrinya sampai mapan berkeluarga? Tidak. Membangun Masjid? Tidak. Yang ditiru Markesot hanya gelandangannya.

***
Gus Rur? Beliau ini punya Pesantren. Menata segala sesuatunya, menyiapkan bangunan-bangunan untuk mengaji dan tempat tinggal para santri. Ustadz-ustadznya pun disiapkan infrastruktur penghidupannya.

Pembagian tugas dan manajemen pembelajaran sudah diatur sedemikian rupa, sehingga Gus Rur merasa aman, kemudian menghilang, pergi jalan kaki tanpa membawa tas atau bekal apapun. Hanya pakaian yang dipakainya. Selebihnya, berideologi seperti ayam kampung, kucing liar atau burung-burung yang merdeka.

Lha Markesot nggelandang tapi Pesantrennya mana?

Koleksi Buku Yaddies Jossmart

Daur I No.078 Belajar Hidup Sesudah Mati

 

Daur-I • 78

Belajar Hidup Sesudah Mati

Kemungkinan besar makhluk macam Markesot ini tergolong yang dimaksud Tuhan di dalam pernyataan dan informasi-Nya: Dan sekali-kali mereka tidak akan mengingini kematian itu selama-lamanya, karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh tangan mereka sendiri, dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang aniaya”

Kemudian, ”Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupannya di dunia, bahkan lebih loba lagi dibanding orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”

Markesot melangkahkan kaki di tengah rel. Kalau dilihatnya di depan ada orang, ia segera menundukkan kepalanya. Pura-pura sibuk mikir dengan ekspresi wajah yang seolah sedang merenung. Ia berharap orang tidak menyapanya karena itu.

Kalau ada kereta akan lewat, baik yang tampak jauh di depan, atau yang terasa getarannya dari arah belakang, Markesot menepi. Kalau ada sungai atau semacam lembah kecil, syukur ada rerimbunan pohon, ia bersembunyi. Ia khawatir di antara penumpang kereta api ada alumnus Patangpuluhan yang tak sengaja melihatnya, kemudian mengambil kesimpulan bahwa Markesot sudah semakin sempurna sakit gilanya.
***

Markesot agak bingung memahami pemberitahuan dan teguran Tuhan: “dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua?”

Ini maksud Tuhan berlakunya kapan? Kalau nasihat pembelajaran itu untuk dilaksanakan dalam kehidupan di dunia yang sekarang, “penciptaan yang pertama” itu maksudnya kapan? Dalam kehidupan yang sebelumnya?

Kalau maksudnya adalah pada kehidupan yang sekarang, kenapa pakai kata-kata “penciptaan yang pertama”? Kenapa bukan, misalnya, “penciptaan di dunia”?

Kalau ada penciptaan yang pertama, apakah itu berarti ada penciptaan yang kedua, ketiga, keseribu-lima-ratus dan yang berikut-berikutnya? Kalau Tuhan berkehendak ada penciptaan yang pertama, Ia berhak mutlak pula untuk menyelenggarakan penciptaan hingga ke berapa pun.

Sebagaimana informasi dari Rasulullah Saw bahwa tadi malam Beliau diajak Malaikat Jibril untuk berisra`mi’raj. Sekarang kita tak sengaja menyimpulkan Rasulullah Saw berisra`mi`raj satu kali. Padahal tidak ada bagian dari informasi itu bahwa beliau berisra`mi`raj hanya satu kali. Andaikan ternyata beliau naik hingga langit tujuh seminggu dua kali, apa kita marah dan membantah?

Ataukah “penciptaan yang pertama” itu maksudnya di dunia, dan yang kedua kehidupan di akhirat?

Tetapi kalau manusia sudah menjalani akhirat di sorga ataupun neraka, apa perlunya pembelajaran dari dunia “penciptaan yang pertama”? Di sorga kita tidak berjuang dan belajar lagi, tinggal menikmati. Di neraka apalagi. Mustahil di neraka ada klub pembelajaran bersama.

Jadi, belajar hidup sesudah mati yang ditegurkan oleh Tuhan itu maksudnya kapan? Kalau di akhirat kan tidak mungkin.
***

Tuhan langsung yang menginformasikan: “Mereka tidak akan merasakan mati di dalam sorga kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari adzab neraka”

Di sorga tidak ada kematian, jelas. Kholidina fiha abada. Kekal abadi. Meskipun kekal abadinya makhluk tetaplah relatif dan tergantung keputusan Tuhan yang mutlak kekal abadi-Nya.

“Kecuali mati di dunia”? Apakah “di dunia” itu berarti hanya di bumi sini dan hanya sekali, yang sedang kita alami? Pelajarilah betapa besar dan agungnya alam semesta, kemudian tertawakanlah betapa tak seperseribu-debu-pun bumi kita. Perhatikanlah tak terjangkaunya ruang dan waktu oleh pengetahuan manusia, kemudian pikirkanlah bahwa Tuhan hanya mendayagunakan seperseribu debu yang bernama bumi, dan mengambil durasi kehidupan makhluk yang seper-tak-terhitung dari bagai tak berujungnya waktu.

Kita manusia di bumi adalah makhluk besar kepala, merasa paling hebat dan paling pandai. Dan siapakah di antara manusia yang menjawab pertanyaan awal tadi: “dan sesungguhnya engkau telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah engkau tidak mengambil pelajaran untuk penciptaan yang kedua?” — kapan dan di mana berlakunya?

Markesot nekat bermanja kepada Tuhan, ia bergumam : “Matikanlah hamba sekian kali….”

Dan itu agak menjebak, karena di sebaliknya ada kalimat yang tidak Markesot ucapkan:

“Hidupkanlah hamba sekian kali”.

Karena bagaimana mungkin ada kematian bisa dilaksanakan jika tak didahului oleh kehidupan.

“Terserah ketentuan-Mu ya Tuhan, berapa kali Engkau matikan aku sesudah sekian kali Engkau hidupkan. Terserah Engkau kau hidupkan aku sebagai siapa atau apa, di mana atau tak di manapun, tetap di bumi ini atau di salah satu satu triliunan bumi yang lain. Terserah Engkau pula kapan hal itu Engkau laksanakan. Langsung boleh, agak ditunda aku akan bersabar, belakangan pun aku bersedia”

***
Belum diteliti apakah sejak Nabi Adam dulu sudah pernah ada manusia yang mengemukakan hal semacam itu kepada Tuhan.

Sebenarnya perlu dicari maksud baiknya Markesot. Mungkin karena selama ia menjalani hidup di dunia yang sekarang ini ia merasa kurang berguna bagi sesamanya, sehingga ia melamar kepada Tuhan “give me the second chance”, beri hamba kesempatan kedua.

Kalau agak muluk-muluk, mungkin Markesot menyimpulkan bahwa kompleksitas kerusakan yang dibangun oleh ummat manusia sudah sampai pada tahap di mana Markesot tidak mungkin mampu turut mengatasinya. Juga ia sudah semakin berumur. Tak ada waktu lagi untuk perjuangan dengan multisolusi peradaban yang kelihatannya memerlukan hidup tiga atau empat kali.

Jadi tidak mudah juga untuk memastikan bahwa gagasan Markesot itu salah seratus persen. Kalau itu gila dan terlalu liar, lebih mendekati kebenaran. Lha Tuhan sendiri menyatakan dengan tegas, “Mengapa kamu ingkar kepada Allah, padahal tadinya kamu mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, dan akhirnya kepada-Nya kamu dikembalikan?”

Kalau mati adalah ujungnya hidup, kalimat “padahal tadinya kamu mati” itu maksudnya bagaimana.

Kalau “tadinya kamu tidak ada”, agak mudah dipahami.

Lantas “…lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan, dan dihidupkan-Nya kembali…” — itu hitungan angka padat — hidup, mati, hidup, mati — ataukah ia bisa berarti tanpa batas hitungan: hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati hidup mati…baru mencapai final dan kita dilantik menjadi juara di sorga, atau menjadi makhluk kalah melawan dirinya sendiri di neraka.

Dan sepertinya Markesot belum begitu cocok untuk disebut sebagai  seorang musyrik yang berkata, sebagaimana ditegaskan Allah di dalam Quràn: “Tidak ada kematian selain kematian di dunia, dan kami sekali-sekali tidak akan dibangkitkan”

Dia bahkan agak rakus kebangkitan.

https://www.caknun.com/2016/belajar-hidup-sesudah-mati/ 
Koleksi Buku Yaddie Jossmart
 

Daur I No.077 Hidup Mati Berulang Kali

 

 Daur-I • 77

Hidup Mati Berulang Kali

“Aku berlindung kepada-Mu ya Allah, dari segala ingatan tentang rumah negaraku, beserta para pembantu rumahtangga yang kami bayar sangat mahal untuk merusak rumah kami, menaruh beban sangat berat ke hati kami, merancang pembangunan pecahnya kepala kami, menjual murah kekayaan kami dan menggadaikan martabat kebangsaan kami….”

Markesot bergumam kepada dirinya sendiri, yang ia harapkan diterima oleh Tuhan sebagai doa.
Ternyata Markesot sedang berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Lurus, jauh, seakan berujung di cakrawala.Terutama sepanjang malam hari. Pada siang hari, ia terus berjalan hanya jika kiri kanannya sepi.

Sangat jelas: jalan kaki menyusuri rel, dengan bunyi gerundalan dan doa seperti itu, apa lagi kalau bukan keputusan orang bingung, frustrasi.

Atau putus asa. Atau gila.

Kemungkinan besar Markesot sudah angkat tangan terhadap beban-beban permasalahan bangsa yang semakin kompleks, ruwet, silang sengkarut. Jangankan menyusun pikiran untuk menyelesaikannya.
Sekadar menatapnya saja sudah pusing kepala. Apalagi merumuskannya, bisa retak kepalanya.
Bahkan hanya coba menggambarnya saja, tidak ketemu garisnya, jarak ruangnya, lekuk-liku lipatan-lipatannya, ketidakteraturan kumpulan titik-titiknya.

***
Tapi sudahlah. Keputusan yang paling masuk akal adalah melarikan diri entah berapa lama. Pergi, jalan kaki, menghindar dari wajah manusia dan setiap indikator negara, politik, kebudayaan, terutama pemerintah. Ngakunya mencari Kiai Sudrun untuk menumpahkan curahan hati.

“Wahai Tuhan yang Maha Dermawan, kira-kira berapa lama lagi jatah waktu hamba untuk mengalami dan memprihatini komplikasi masalah-masalah ini. Sampai kapan hamba akan menanti perintah-Mu untuk turut mengatasi semua itu sebagaimana beberapa kali di waktu-waktu yang lalu. Sedangkan hamba bukanlah siapa-siapa yang layak mendapatkan perintah-Mu. Bahkan pun hamba bukan siapa-siapa di tengah manusia”

“Kalau sampai habis jatah waktu hamba, dan belum apapun yang hamba lakukan untuk menolong keadaan ini, masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi? Sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku”

***
“Tidak terlalu menjadi masalah bagi hamba kenyataan bahwa ummat manusia dan bangsa tidak memiliki pemimpin. Sudah hamba kuatkan hati menyaksikan tanaman-tanaman tak bisa tumbuh karena tanahnya makin dirasuki narkotika dan airnya beracun. Melihat pohon-pohon kerdil karena dikuasai oleh benalu. Menatap kebun-kebun nangka yang kini ditanami cempedak. Memandang kambing dibedaki, dikostumi dengan celana, baju, jas, dasi dan sepatu, kemudian dijunjung dinaikkan panggung, dan diperkenalkan sebagai Satrio Piningit”

“Hamba tangguh-tangguhkan hati untuk berada di tengah lalu lalang manusia hidup yang kehilangan proporsi, ketepatan, empan papan, pepantes, logika, ekspertasi, kematangan, kedewasaan. Hamba kuat-kuatkan bergaul dengan manusia-manusia yang tinggal jasadnya, tulang dagingnya, aksesori hedonisnya, ditambah sedikit perasaan yang kekeringan nurani dan akal yang hampir lenyap nalarnya”

“Yang hamba sedang berjuang untuk kuat memanggulnya adalah kenyataan bahwa kebanyakan manusia sudah hampir total kehilangan pemahaman tentang Pemimpin, Kepemimpinan, Kasepuhan, Imam, Begawan, Punakawan, Panembahan, Ahlul-ahwal, Pawang, dan apa saja yang maqamat-nya menjaga keselamatan ummat manusia”

“Karena kebodohan hasil keterperdayaan massal, mereka memilih, mengangkat, menjunjung dan mati-matian membela pendusta, penindas, perampok dan penipu, yang mereka sangka pemimpin. Hamba tidak tega melihat wajah-wajah mereka, hancur hati hamba membayangkan putra-putri mereka, anak cucu mereka, generasi demi generasi berikutnya, akan mengalami hidup yang bagaimana sesudahnya. Apakah jurang akan makin dalam, kubangan hidup makin busuk, kegelapan makin kelam, sampai akhirnya warna tinggal hitam”

***
Begitulah. Kalau orang menyepi, ancaman pertama yang muncul adalah kecengengan. Kalau orang menyelinap ke jalanan-jalanan yang sunyi, dan yang ia panggul adalah kesedihan, jodoh yang mendatanginya adalah kecengengan. Mungkin yang terasa seperti kekhusyukan dan kedalaman, tapi sebenarnya ya kecengengan.

Tapi ke mana pula tujuan Markesot pergi?

Kalau Markesot sudah tahu ke mana, ia tak perlu melangkahkan kakinya. Ia berjalan justru untuk mencari tahu akan ke mana.

Kan mencari Kiai Sudrun? Itu jelas. Tapi siapa bisa menunjukkan Sudrun ada di mana? Ia tidak bisa dicari di timur, barat, selatan ataupun utara. Juga tak bisa dikejar ke perut bumi atau di tembusan-tembusan angkasa. Bukan itu ukurannya.

Andaikan saat ini jelas di mana Kiai Sudrun berada, jangan dipikir satu menit sesudahnya ia tetap berada di sana. Apalagi Kiai Sudrun itu jika berada di suatu tempat, ia bisa ada di tempat lain pula pada saat yang sama. Jangan marah, lebih baik meneruskan belajar fisika, ilmu gulungan ruang dan lipatan waktu, serta ketidakterbatasan semesta di mata benda dan otak manusia.

Markesot pun tak cemas meski belum jelas tujuannya.

Ah, tapi sebenarnya sangat terang benderang yang sedang dilakukannya: yakni melangkahkan kakinya. Terus melangkahkan kakinya, sampai pada suatu titik silang ruang dan waktu di mana ia akan menghentikan langkahnya.

Manusia selalu sok tahu tentang tujuan hidupnya. Padahal alamat tujuan itu sudah tertera sangat gamblang di kandungan hati dan peta kesadaran pikirannya. Yang perlu dilakukan hanyalah terus melangkahkan kakinya.
***

Yang tidak lazim adalah doa Markesot. “…masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi…?”

Apa maksudnya ini? Nanti setelah mati mau hidup lagi? Mau kolusi dengan Tuhan supaya diberi kesempatan hidup tidak hanya satu kali? Kalau umpama iya, hidup yang kedua sebagai siapa? Tetap sebagai Markesot? Atau dititipkan kepada seorang bayi yang lahir sesudah kematiannya?
Atau bukan jadi siapa, melainkan menjadi apa? Misalnya ular, kambing, burung elang, jin?

Bagaimana kalau Tuhan kasih jatah kedua hidupnya Markesot tapi ditugasi menjadi prajurit Setan bawahan Panglima Iblis? Atau minimal Markesot lahir kembali sebagai hantu. Tapi kalau sekadar menjadi hantu, namanya tidak move on. Sekarang pun Markesot semacam hantu juga.

Terus, coba dengar kembali, betapa sembrononya kalimat ini: “…sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku….”

Who do you think you’re, Cak Sot? Memangnya Sampeyan ini siapa? Nabi Isa? Ditarik sejenak oleh Tuhan dari medan perang, menunggu beberapa saat untuk dikembalikan menjadi Panglima melawan segala komplikasi dampak global Dajjal dan Ya’juj Ma’juj?


Sedangkan Muhammad Saw kekasih Allah Swt, sedangkan seluruh Nabi dan Rasul, semua hamba-hamba suci dari Siti Maryam hingga Raden Syahid, hanya diberi jatah satu kali terlibat dalam kehidupan yang ini. Masih mending Nabi Nuh As dikasih durasi 900 tahun, padahal masterpiece ciptaan-Nya sendiri hanya 63 tahun.

Jadi apa-apaan ini Markesot. Mau seperti Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”? Mau hidup mati hidup mati berulangkali? Memang ada skenario penciptaan seperti itu oleh Tuhan?

https://www.caknun.com/2016/hidup-mati-berulang-kali/ 
Koleksi  buku  Yaddie

Daur I No.076 Bimbingan Belajar Dajjal

 

Daur-I • 76

Bimbingan Belajar Dajjal

Hal lain yang diincar oleh Markesot untuk diserbukan ke Kiai Sudrun adalah kenapa sesudah era Nabi pamungkas Muhammad Saw Allah mengubah kebijakan-Nya. Baik policy dasarnya maupun detail regulasinya.

Misalnya, pelaksanakan logika iman-berkah dan kufur-adzab oleh Allah sangat berbeda sebelum dan sesudah Nabi terakhir. Dulu kontan, sekarang bertahap, dicicil-cicil, bahkan ditunda hingga akhirat.
Dulu kekufuran, pengkhianatan terhadap Maha Sangkan Paran bertabrakan langsung dengan tangan as-Syadid. Banjir bah, gempa, badai, pageblug, jutaan lalat menghisap darah memakan daging meremukkan tulang hingga kepala Raja Namrud dimasuki seekor lalat selama 400 tahun. Pokoknya Allah bersegera show of force.

Rata-rata semua peradaban ummat manusia dihancurkan oleh Allah karena selingkuh dengan yang selain Allah. Sekarang Allah banyak hadir sebagai as-Shobur Maha Sabar, as-Syakur Maha Pensyukur. Allah tampak oleh manusia lebih mengedepankan ar-Rahman ar-Rahim, Maha Pengasih Maha Penyayang.

Kalau memakai terminologi gender, sebelum Muhammad Saw Allah lebih bersikap ‘maskulin’, sesudah itu sampai sekarang lebih ‘feminin’, santun, mengayomi, melindungi, mengampuni, bahkan orang-orang yang mengkonstruksikan kelaliman internasionalpun seakan-akan malah ‘digendong-gendong’ oleh Allah.

Taipan yang memperbudak politik nasional dininabobokan, dimanjakan. Pemimpin-pemimpin palsu, budak-budak pekatik-pekatik yang dipemimpin-pemimpinkan, jalan melenggang tanpa halangan apapun yang signifikan. Rakyat kecil dipermainkan hatinya, didustai pikiran dan pengetahuannya, dirampok hartanya, dikikis hak-haknya.

Dan mereka yang melakukan itu seakan-akan tak akan bertemu dengan ketentuan Allah “barang siapa berbuat baik akan memperoleh balasan, barang siapa berbuat buruk akan mendapatkan balasan”

Allah memang menyatakan “mereka melakukan tipu daya, dan Aku Maha Penipu Daya, biar Kukasih tenggang waktu sejenak….”

Dan ratusan juta orang robek-robek hatinya, ambyar pikirannya, putus asa jiwanya menantikan berapa lama “amhilhum ruwaida” itu. Berapa generasi harus melewati kelahiran, kehidupan dan kematian untuk tiba pada era “wa makarallah”, zaman di mana Allah makar atas para penyelingkuh cinta-Nya, pengkhianat kemurahan-Nya serta pendurhaka hak-hak-Nya.

***
Masalahnya para perampok hak-hak Allah di bumi, khususnya di wilayah perdelapan Khatulistiwa ini, berlaku seakan-akan mereka mendapat mandat dari hakiki eksistensi Al-Malik Al-Jabbar Al-‘Aziz Al-Mutakabbir dan banyak kuasa Allah yang lain, tanpa mendapatkan risiko apapun. Sekurang-kurangnya demikian batas yang bisa dilihat dan dipahami oleh keterbatasan ilmu manusia.

Dengan modal keuangannya yang sangat dominan, dengan seluruh kelengkapan fasilitas kekuasaanya, perangkat keras maupun lunak, mereka menyandera mayoritas penduduk, melalui strategi yang membuat mereka yang disandera tak merasa disandera.

Yang dipenjara malah merasa ditampung di rumah mewah. Yang ditindas malah merasa disayangi. Yang diperkosa malah merasa dicintai. Yang dirampok malah merasa disantuni. Yang dihina malah merasa bangga.Yang direndahkan malah merasa dijunjung. Yang dilecehkan malah berhimpun menjadi sahabat para peleceh.

Pantaslah Markesot suka rengeng-rengeng:

Terlalu lama mereka didustai
sampai hanya Tuhan yang menemani


Terlalu lama didustai, sampai tumbuh kesanggupan untuk ikhlas terhadap dusta, kebal terhadap dusta, sampai akhirnya mampu menyulap dalam khayalannya dusta-dusta itu menjadi seakan-akan anugerah.

Ini semacam jaringan nasional dan internasional Bimbingan Belajar yang diselenggarakan oleh Dajjal. Atau semacam ‘Pesantren’ Kilat Dajjalisasi dan Dajjalisme.

Dajjal?

Siapa percaya Dajjal? Siapa percaya ada Dajjal?

Itulah yang Markesot cemaskan sehingga dikejarnya Kiai Sudrun.

Seluruh situasi dan keadaan ini sebenarnya merupakan wujud peremehan terhadap Tuhan. Tuhan dianggap tidak berkuasa, tidak bekerja, tidak berkehendak, tidak punya rancangan apa-apa, tidak menyusun Lauhil Mahfudh, bahkan pada hakikatnya seluruh perilaku mereka itu suatu pernyataan bahwa sebenarnya Tuhan tidak ada.


Tuhan saja dianggap tidak ada. Apalagi Dajjal.

Apalagi Markesot, yang sebenarnya tidak sukar dibuktikan bahwa ia belum pernah benar-benar ada, meskipun tidak bisa dikatakan bahwa ia  aslinya tidak ada.

***
Tahun-tahun terakhir ini bangsa santri Dajjal ini bahkan sangat mencintai dusta. Kangen kalau tak didustai. Mempertahankan kerinduan kepada pendusta. Mengangkat dusta sebagai pemimpin. Membelanya dengan sepenuh nyawa. Menegakkan Negara dengan Supremasi Dusta.

Bagian dari bangsa yang sudah rutin dikursus oleh Dajjal, sebagaimana diketahui bersama sejak lama: menjadi sangat pandai untuk melihat kegelapan sebagai cahaya, menyangka neraka adalah sorga, meyakini kebatilan sebagai kebenaran, bahkan adzab dikira berkah.

Jangankan mempelajari pemetaan dengan presisi tinggi untuk memilah yang mana rahmat yang mana barokah. Mereka para peserta kursus Dajjal bahkan bergembira ria ketika ditimpa adzab, dan kecewa bahkan marah tatkala dianugerahi barokah. Mereka berpesta pora membuang barokah dan membangun jaringan sahabat dan relawan adzab.

Mata pandang para peserta didik Bimbingan belajar Dajjal ini memang dididik untuk jangan sampai memiliki spektrum dan perspektif untuk melihat adzab. Bebendhu-nya harus didesain tidak kasat mata. Kegelapan harus ditampakkan pada mereka sebagai cahaya. Penglihatan mereka hanya dilatih untuk melihat benda. Mereka dicanggihkan matematikanya, khusus untuk menghitung jumlah uang, serta membangun teknologi untuk memperluas kekuasaan dan penguasaan.

Kalau ada penyair menulis, “sampai hanya Tuhan yang menemani”, mereka mentertawakannya.
Tuhan menemani? Benarkah Tuhan menemani? Apakah mereka ingin dan mau ditemani oleh Tuhan? Apakah Tuhan sebegitu pentingnya? Bagi para santri Dajjal ini apakah Tuhan lebih urgen dibanding uang?

Bahkan Tuhan ditantang, “Ayo Tuhan, silakan menemani mereka. Silakan. Seluruh tata kuasa, peta akses, ketersediaan modal, ada di genggaman tangan kami. Ayo Tuhan, silakan menemani wong cilik, kaum tertindas, mustadl’afin, madhlumin, ummat yang teraniaya. Bukankah mereka percaya bahwa doa orang teraniaya itu sangat manjur untuk Engkau kabulkan? Ayo, silakan kabulkan”

***
Markesot sungguh rindu-dendam kepada Sudrun. Bagaikan terbang ia melacak keberadaannya.
“Ya Allah
Sudah tak bisa diperpanjang lagi
Kesabaran mereka, ketabahan mereka
Sesudah diremehkan dan dicampakkan


Akhirnya akan sampai di sini
Di arus gelombang yang sejati
Kalau perahu itu adalah tangan-Mu sendiri
Tak akan ada yang bisa menghalangi”


https://www.caknun.com/2016/bimbingan-belajar-dajjal/ 

Koleksi Buku Yaddie Jossmart
 

Daur I No.075 ngiler.com

 

Daur-I • 75

ngiler.com

Masih belum yakin untuk membatalkan keinginan ketemu Kiai Sudrun? Atau malah semangat untuk menangkap fenomenanya? Mau menafsirkan jenis kemakhlukannya? Mau meneliti dan menginterpretasi fenomena kasyaf-nya? Kiai Sudrun hanyalah lelaki tua yang dari tepian bibirnya selalu mengalir air liur tanpa henti-hentinya.

Kiai Sudrun adalah ngiler.com.

Ia berjalan, di dalam pagar tepi jalan ada kebun. Di kebun ada pohon mangga sedang berbuah. Ia yang badannya kecil kurus pendek meloncat-loncat, tangannya coba meraih salah satu buah mangga yang menggelantung ke luar pagar.

Akhirnya Kiai Sudrun berhasil meraih mangga itu. Tapi segera tuan rumah pemilik kebun meneriakinya. Melarang ambil mangga dan menghardiknya. Kiai Sudrun gagal memakannya. Ia lemparkan ke dalam kebun, mengena ke pohon mangga yang ia ambil buahnya.

“Ya sudah”, kata Sudrun sambil ngeloyor pergi, “kalau memang Pengeran (sebutan lokal untuk Tuhan) yang punya tanah dan pohon ini melarang saya menikmatinya, saya cari buah yang lain. Kebun milik Pengeran tidak ada batas keluasannya”

Besok paginya pohon mangga itu rontok daun-daunnya, kering pohonnya, beberapa hari berikutnya mati.

Sudahlah.
***
Mau mendaftarkan diri agar Sudrun masuk, mengetuk pintu dan mengobrol dalam tidur kita? Mau melihat Sudrun main-main di beranda Masjid, buka sarung dan kencing ngathar diobat-abitkan di lantai tanpa ada bekas kencingnya?

Mau disiksa oleh Sudrun mematikan semua lampu listrik di rumahmu dengan satu tepukan tangan? Gatal ingin menonton Sudrun meletakkan puntung rokoknya di atas rel sehingga keretanya terguling?
Atau mau mendampingi dia tidur di pojokan guthekan Masjid, sarungnya tersingkap sehingga barangnya tampak?

Makin malas dan bosan melihat dunia, manusia, masyarakat dan negara, sehingga mending mendengarkan ratusan kisah-kisah Kiai Sudrun? Dengan tujuan khusus agar orang-orang di sekitar kasih stempel sesat, musyrik, kafir, teman Setan dan calon penghuni neraka?

Sementara lainnya mengklaim bahwa itu kisah-kisah khayal, tidak ilmiah, tidak realistis? Karena yang nyata adalah yang tampak oleh mata, terdengar oleh telinga dan tersentuh oleh perabaan?
Apakah ada yang menyangka bahwa Kiai Sudrun punya keinginan, apalagi keperluan, untuk membuktikan dirinya? Untuk membela kebenarannya? Untuk mempertahankan martabat hidupnya?

Coba jelaskan kepada Kiai Sudrun apa itu diri, apa kebenaran dan martabat hidup?

Siapa pakar-pakar ilmu di muka bumi, ahli batin, jagoan kebijaksanaan, penguasa, sakti, mumpuni, orang besar, dukdeng, yang mewakili dunia untuk menguraikan hal itu? Berdoalah agar tidak membuka sarungnya, memancarkan kencingnya, atau mengambil dan menggenggam pisau panjangnya entah dari mana, kemudian ditusukkan ke dadamu, tanpa engkau terluka dan merasakan apa-apa.

***

75 tahun sebelum terjadi luapan lumpur hingga menjadi lautan kecil di suatu wilayah, Kiai Sudrun bertempat tinggal di situ. Pada suatu sore ia berkata, “Nanti kalau lumpur muncrat dari perut bumi dan menenggelamkan daerah ini, saya tidak butuh ikut meminta ganti rugi”

Di jengkal dan garis tanah tempat Kiai Sudrun berdiri itulah luapan lumpur berhenti. Kampungnya Kiai Sudrun tidak tenggelam oleh lumpur, namun daerah itu disebut Peta Terdampak. Karena penghidupan mereka terkena multi-efek dari perubahan geososial, geoekonomi, dan geokultural yang ditimbulkan oleh lumpur.

Kiai Sudrun tidak termasuk di antara 13.200-an keluarga yang punya rumah baru berkat lumpur yang menenggelamkan rumah-rumah mereka, dengan harga lima kali lipat dibanding harga semula tanah dan rumahnya. Kiai Sudrun tidak terlibat dalam rezeki melimpah rumah baru, juga tidak terlibat dalam sikap kurang bersyukur dari ribuan orang yang dilimpahi rezeki itu.

Alkisah terdapatlah satu makhluk Allah yang berasal dari suatu Planet luar bumi, diperintah oleh Ibunya untuk membangun rumah bagi 13.200-an keluarga itu, atau sekurang-kurangnya memberikan biaya agar mereka bisa mendirikan rumah-rumah yang lebih bagus dari sebelumnya.

Makhluk itu ditimpa fitnah besar-besaran, ditindih kutukan besar-besaran dan dipenjara oleh kebencian besar-besaran. Hukum negara menyatakan ia tidak bersalah atas luapan lumpur itu, dan atas kepatuhan kepada Ibunya ia mengeluarkan uang triliunan untuk membangun rumah-rumah sebanyak itu. Dan yang diperoleh dari sedekah agungnya itu bukan rasa syukur dan ucapan terima kasih, melainkan kutukan, fitnah dan kebencian.

***
Untunglah jika dilihat dari langit, ada Kiai Sudrun di wilayah itu. Meskipun tetap saja secara khusus para pengkufur nikmat yang kadar pengkhianatannya tinggi, sudah didaftar untuk memperoleh wabal dari hukum Tuhan.

Ada yang pecah berantakan keluarganya, ada yang pabriknya diluluh-lantakkan oleh api, ada yang masuk penjara karena terbuka kedok kedhalimannya, ada pengusaha yang berubah menjadi karyawan pom bensin, ada yang sakit parah, dan bermacam-macam lagi.

Khusus di wilayah itu dengan urusan lumpurnya, seorang makhluk Planet lainnya sejak awal menancapkan tonggak hukum Tuhan, bukan hukum negara, kepada semua yang terlibat: “Kalau kalian bersyukur, Kutambahi limpahan rahmat dari-Ku. Kalau kalian khianat, sesungguhnya siksa-Ku sangatlah dahsyat”

Pancangan hukum Tuhan itu juga lambat atau cepat akan menimpa pelaku-pelaku negara, yang dalam persoalan lumpur bersikap tidak adil, lalim, mengambil keuntungan, dan tidak memperhatikan akhlaq kehidupan ciptaan Tuhan. Si makhluk kedua dari Planet itu juga menyatakan bahwa lulus tidaknya para penduduk lumpur di hadapan Tuhan di dalam meng-akhlaq-i masalah lumpur, akan menentukan bangkit atau hancurnya negara dengan sebagian rakyatnya.

Ketika itu Kiai Sudrun yang mendorong dan memastikan pertemuan antara Presiden dengan perwakilan masyarakat yang kampung dan rumah-rumahnya ditenggelamkan oleh lumpur.
Di waktu sekitar maghrib, di sebuah gardu pojok kampung tepian lumpur, Kiai Sudrun mendatangi salah satu anggota rombongan yang akan berangkat berunding dengan Presiden.

“Jangan tidak berangkat. Sudah benar jalannya. Presiden menunggu tanpa terkait dengan protokol kepresidenan. Nanti Presiden hanya ikut runding, tapi bukan dia yang memimpin”

***

Ada yang bertanya, kalau memang ada orang yang seaneh dan sesakti Kiai Sudrun, kenapa dia tidak bereskan kekacauan keadaan negara dan bangsa ini? Kenapa dibiarkan runyam berkepanjangan seperti ini.

Kiai Sudrun aneh? Apanya yang aneh. Kiai Sudrun ya begitu itu. Kalau tidak begitu, malah aneh.
Kiai Sudrun sakti? Mana ada yang sakti selain Tuhan? Apapun kekuatan, kehebatan dan kesaktian yang tampak ada pada manusia, Tuhanlah yang memilikinya.

Kenapa tidak membereskan keadaan?

Kiai Sudrun tidak pernah menciptakan dirinya sendiri. Tidak pernah mentakdirkan, merancang, dan menugasi dirinya sendiri. Untuk membereskan kekacauan ataukah untuk membangun keindahan, bukanlah Kiai Sudrun direktur utamanya. Bahkan Sudrun menjadi Sudrun bukan pula ia yang mengarsiteki dan mengaransirnya.

Kalau ada yang menabrak Kiai Sudrun dengan tuntutan seperti itu, yang pasti ia dapatkan adalah ngiler.com.

https://www.caknun.com/2016/ngiler-com/ 

 


Daur I No.074 Wali Klingsi

 

Daur-I • 74

Wali Klingsi

Salah satu hal yang diincar untuk dikonfirmasikan kepada Kiai Sudrun oleh Markesot ya bab adzab ini.

Tapi sekali lagi biarlah urusan Markesot dengan Kiai Sudrun nanti belakangan saja. Biarkan Markesot sudah menghilang. Mungkin juga sudah menemukan Kiai Sudrun. Biarkan saja. Sekadar Markesot saja pun sudah terasa seperti adzab yang memecah kepala, jangan pula ditambah dengan level adzab yang lebih tinggi.

Lebih baik jangan pernah ketemu dengan Kiai Sudrun sepanjang hidup. Sebab dia tahu persis jumlah detail uangmu yang di dompet, di saku celana, di almari rumah, di bank, bahkan di balik kendit istrimu. Dan begitu ketemu, dia langsung minta duit. Dia pula yang menentukan jumlahnya. Kalau misalnya sejak sebelumnya sudah kita siapkan uang khusus untuk Kiai Sudrun, dia pasti menolak. Dia akan tunjuk uang yang jumlahnya lebih besar yang kita simpan.

Dulu Neneknya Markesot diantar Markesot bertamu ke rumah Kiai Sudrun untuk menanyakan apa benar suaminya, yakni Kakek sambung Markesot, selingkuh dengan Jin. Nenek Markesot memang luar biasa pencemburu. Kalau pergi malam-malam dengan suaminya, lantas di dekat kuburan ada Kuntilanak atau Sundel Bolong, si Nenek ribut bukan karena takut ketemu hantu, tapi sibuk mengawasi jangan-jangan suaminya ada main dengan hantu itu.

***
Pada kunjungan sebelumnya si Nenek pernah menyiapkan sejumlah uang untuk Kiai Sudrun, tapi ditolak dan Kiai Sudrun menyebut sejumlah uang sambil menuding arah dada Nenek. Ternyata memang Nenek bawa uang lumayan banyak diletakkan di dalam BH-nya, disisihkan sekadarnya untuk Sudrun. Akhirnya semua uang Nenek dikasihkan ke Kiai Sudrun.

Kalau tidak karena curiga suaminya gendhakan dengan Jin perempuan, si Nenek tidak cenderung untuk menemui Kiai Sudrun lagi. Tapi apa boleh buat. Namun demikian karena pengalaman uang dalam BH dulu, si nenek kali ini agak salah tingkah begitu memasuki halaman rumah Kiai Sudrun. Spontan Nenek belok ke Musholla di depan sebelah kiri rumah Kiai Sudrun. Ia berwudlu, kemudian melakukan shalat.

Tiba-tiba ketika si Nenek ruku` membungkukkan badan, tubuhnya disorong ke depan oleh Kiai Sudrun sambil berteriak — “Gak njaluk gaaaak!”. Saya tidak minta duitmu. Tidak. Begitu terjemahannya. Si Nenek terjerembab ke depan. Untung beliau petani tangguh yang badannya kuat dan sehat. Si nenek bangun terbata-bata sambil mendengar Kiai Sudrun tertawa terkekeh-kekeh dan berlari masuk rumahnya.
***
Sebaiknya disebar suatu travel warning ke teman-teman dan siapa saja yang mungkin bisa dikasih tahu. Sekarang ini sedang susah-susahnya cari duit, jangan pula ketanggor Kiai Sudrun untuk ia rampas uang kita.

Kalau umpamanya ada yang terpaksa seperti Nenek Markesot tadi butuh ketemu Kiai Sudrun, datang saja sendiri. Jangan ajak teman, apalagi saudara atau famili. Nanti Kiai Sudrun bisa-bisa nyangoni bahan dan sumber konflik untuk pertengkaran sepulang kita dari rumahnya.

Bayangkan kita diantar seorang kawan bertamu ke rumah Kiai Sudrun. Belum dipersilakan duduk, Kiai Sudrun sudah menuding-nuding kawan kita:

“Harga lembunya sepuluh juta kok kamu bilang ke Bapakmu laku hanya tujuh juta?”

Pernah ada Sekretaris Desa diajak temannya, Kiai Sudrun mendampratnya:

“Uang bantuan desa kok malah kamu belikan semen dan kayu untuk ndandani rumahmu”

Temannya Sapron dulu juga dimarah-marahi seolah-olah Kiai Sudrun itu Pakdenya:

“Saya tidak suka sama kamu. Kamu ini pemarah. Temanmu di SMP sekarang jadi Bupati, sementara kamu tukang becak. Kenapa marah? Seharusnya Bupati itu yang frustrasi dan uring-uringan. Karena dia dicampakkan oleh Tuhan di kubangan yang banyak najisnya. Sedangkan kamu disayang Tuhan. Dilindungi dari malapetaka dunia. Kaki dan tanganmu disuruh menjalani ibadah tingkat tinggi tiap hari. Kok malah jadi pemarah”

***
Sapron mengantarkan kakaknya sakit parah, perutnya mlembung besar, tersiksa luar biasa, sangat susah buang air besar. Badannya menyusut cepat. Beberapa kali ke dokter tidak ada yang bisa memastikan dia sakit apa. Mungkin karena ketika itu dokter belum punya alat teropong untuk melihat apa isi perutnya. Akhirnya menghadap ke Kiai Sudrun.

Begitu melihat si pasien yang kurus pucat dengan wajah penuh derita, Kiai Sudrun malah tertawa terbahak-bahak. Keras dan lama sekali tidak berhenti tertawanya. Sapron disuruh membeli obat urus-urus. Kakaknya disuruh makan dulu sekuatnya kemudian minum serbuk itu.

Dalam waktu tak ada satu jam kakak Sapron berlari mau ke belakang. Tidak bisa menahan ingin buang air besar. Sapron memapahnya dan mengantarkannya ke pakiwan. Sebentar kemudian Sapron ganti yang menderita. Ia mau mengucapkan kalimah-kalimah thayibah tapi pekewuh lha wong di dalam pakiwan. Mau tertawa juga ia tahan karena mungkin akan menyakiti hati kakaknya.

Dari perut kakak Sapron pletok-pletok satu persatu keluar butiran-butiran klingsi, biji asam. Sapron dengan sabar dan telaten menemani perjuangan kakaknya, sambil diam-diam menghitung. 63 biji semua jumlahnya yang kost selama ini di dalam usus kakaknya.

Lega hati mereka berdua. Kakak Sapron mulai tulus senyumnya. Bergegas Sapron menuntun kakaknya untuk bersegera melaporkan keadaannya kepada Kiai Sudrun serta menghaturkan beribu terima kasih. Tetapi sebelum masuk ke rumah, Kiai Sudrun sudah berdiri metenteng di depan pintu.

 Bertolak pinggang sambil masih tertawa-tawa kecil. Rupanya sudah memanggil dua becak pula.

“Ayo!”, perintah Kiai Sudrun, “pergi ke toko kita. Tolong belikan saya mobil”

***
Mau pingsan Sapron rasanya. Apa maksudnya membelikan mobil?

“Mobil satu saja cukup”, teriak Sudrun dari atas becak. Sapron dan kakaknya di becak lainnya.
Sapron tidak bisa menjawab. Gimana ini maksudnya.

“Cukup satu mobil saja”, Kiai Sudrun mengulang, “tidak perlu 63 mobil. Klingsi kan murah harganya”

Sapron berkeringat dingin, badannya gemetar. “Urusan klingsi saja kok imbalannya mobil”, Sapron menggerundal sendiri, “Dasar Wali Klingsi”

Beli mobil pakai duit berapa Mbah, bukan sekadar pakai uang Mbah-nya siapa. Sapron frustrasi berat, sementara Kiai Sudrun nyanyi-nyanyi tertawa-tawa seperti anak belum masuk Sekolah Dasar.
Alhasil becak meluncur beberapa kilometer, diarahkan oleh Kiai Sudrun. Berhenti di depan sebuah toko. Kiai Sudrun turun dan menyuruh mereka berdua pun turun.

Sapron matanya kabur, pikirannya rusak, hatinya hilang. Setelah masuk toko mengikuti Kiai Sudrun baru pelan-pelan ia sadar bahwa ini adalah toko mainan anak-anak.

Kiai Sudrun berjalan mantap seolah-olah ia pemilik saham mayoritas toko itu. Ia tidak melihat-lihat keliling, melainkan menuju ke suatu pojok yang sepertinya ia sudah tahu persis, bahkan seolah-olah ini semua adalah miliknya. Kiai Sudrun mengambil sebuah truk kecil terbuat dari kayu.

Sapron terpana. Gusti Pengeran. Mobil-mobilan, truk-trukan. Belum sempat mengatur nafas Kiai Sudrun nerocos terus, “Terima kasih atas hadiah ulang tahun saya ke 67. Seharusnya hari ini saya masuk Gua, tapi demi klingsi, saya nunggu kedatangan kalian”

Kemudian Kiai Sudrun menemui pelayan toko, minta tali, diikatkan ke bagian depan truknya. Lantas ia berlari keluar toko menyusur trotoar, menghambur menyeret truknya sambil berteriak-teriak riang gembira.

***
Kelak, beberapa puluh tahun kemudian, ketika Sapron menceritakan pengalamannya itu kepada Markesot, seluruhnya sampai detail, Markesot terhenyak kaget.

“Gua?”, kata Markesot, “Al-Kahfi. Ayat 67? ‘Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersamaku’….”

 https://www.caknun.com/2016/wali-klingsi/
Koleksi buku Yaddie Jossmart


Daur I No.073 Relawan Adzab

Daur-I • 73

Relawan Adzab

Sedahsyat-dahsyat pencapaian peradaban dan kecanggihan teknologi ummat manusia di abad ini, masih tertinggal jauh di belakang peradaban Irom “dzatil ‘imad”  kurun Nabi Hud, ketinggian gedung-gedungnya ataupun panjang lebar runaway pesawat-pesawatnya.

Pun belum mencapai sekadar teknologi komprehensif Piramida-nya dinasti para Fir`aun. Atau keakraban silaturahmi dengan makhluk-makhluk luar angkasa para penghuni Pulau Jawa. Atau bahkan pun dibanding penguasaan waktu dan kesemestaan ruang bangsa Maya dan Inka di kantung raksasa bawahnya pulau yang sekarang diklaim bernama Amerika.

Dan semua itu hancur luluh lantak karena konflik dengan Tuhan. Disisakan sangat sedikit sehingga tidak sampai musnah total, untuk keperluan pembelajaran bagi para pembangun peradaban di abad-abad berikutnya. Yang hari-hari ini sedang bertahta di puncak keangkuhannya, hampir tiba di jurang kehancurannya.

Dan kalau ukuran kemajuan dan ketertinggalannya, parameter kejayaan dan keterpurukannya, serta ketinggian dan kerendahan ke-adab-annya diambil dari Agamaterialisme, maka dalam skala sangat kecil: Patangpuluhan adalah simbol dari segala macam jenis kegagalan, ketertinggalan, keterpurukan, bahkan kekumuhan dan kehinaan.

Tidak seserpih apapun yang kasat mata di Patangpuluhan yang lulus untuk disebut maju dan jaya. Supremasi cat rumahnya saja warna hitam. Tembok-temboknya lembab dan kusam. Tak ada tata rumah tangga yang biasanya diwakilkan kepada meja kursi tamu yang pantas. Almari-almari yang ganteng dengan benda-benda mejeng tak jelas gunanya. Ranjang kasur sprei bantal guling yang mencerminkan bahwa penghuninya cukup berbudaya.

***
Tak ada. Tiada. Benar-benar tak ada gebyar dan tiada sesuatu yang bercahaya. Tamu-tamu yang datang pun makhluk kumuh dan rendahan, yang keperluan-keperluan kedatangan mereka tidak ada gaya, style, atau aura yang membanggakan.

Tamu-tamu Patangpuluhan keperluannya komplet, tapi kelasnya rendahan. Misalnya orang-orang yang barusan kecopetan, dan itu biasanya kiriman dari Terminal Bus atau Stasiun Kereta Api, entah siapa yang mengirim mereka. Sampai hari ini tidak tertemukan siapa provokator yang yuwaswisu fi shuduri orang-orang susah itu agar njujug-nya ke Patangpuluhan.

Rumah hitam Patangpuluhan adalah keranjang sampah.

Yang paling rutin adalah orang datang dengan masalah psikologis dan rumah tangga. Kalau orang-orang gila, ngengleng, tidak berfungsi sejumlah saraf di otaknya, tidak dikategorikan sebagai tamu di Patangpuluhan. Mereka adalah kawan-kawan karib.

Tampaknya memang situasi Patangpuluhan adalah tempat yang paling pelik untuk mengurai beda antara bencana dengan adzab.

Karena yang datang kadang-kadang memaksa Markesot  menjadi Kiai atau Dukun. Yang medukun bisa minta nomer, bisa konsultasi pesugihan atau pengasihan. Plus orang kesurupan.

Yang menuduh Markesot adalah Kiai, datang dengan pertanyaan-pertanyaan pelik atau justru pertanyaan yang sebenarnya sama sekali tidak perlu ditanyakan oleh setiap makhluk yang punya akal.
Ada yang datang, angkat tangan ke jidat, tabik seperti prajurit kepada atasannya. Kemudian duduk dan melaporkan:

“Saya berasal dari Kalimantan. Kuliah di Yogya. Orang tua saya bangkrut. Sudah hampir setahun saya terpaksa mencari uang sendiri untuk makan, tempat tinggal dan bayar kuliah. Beberapa minggu terakhir saya kelaparan. Saya datang ke kantor Palang Merah untuk menjual darah saya. Setiap saya kelaparan saya jual darah. Makin lama saya makin lemah. Sekarang kondisi saya bingung dan agak sedikit gila…”

***
Kisah para tamu Patangpuluhan kalau ditulis bisa melahirkan beberapa puluh novel, beberapa ratus novelet, ribuan cerita pendek dan puisi-puisi yang susah dibatasi jumlahnya.

Dan karena tidak mungkin ada sekian puluh novelis, sekian ratus penulis novelet, sekian ribu cerpenis serta kumpulan penyair ummat manusia dan masyarakat Jin yang jumlahnya tak terbatas, yang bisa berenang di gelombang samudera Patangpuluhan, maka urusan penulisan ini sebaiknya  diabaikan saja.

Yang perlu dikemukakan di sini sekadar penjelasan-terpaksa Markesot ketika dikiaikan oleh tamu-tamu yang datang bertanya tentang bencana dan adzab. Markesot sedikit tahu Alif tapi agak bengkong, tapi sejumlah orang mengira dia pintar ngaji dan paham agama.

Bab nahwu shorof, ilmu balaghah, manthiq dan yang begitu-begitu Markesot hanya dengar-dengar, tapi sering ada tamu-tamu aneh yang berkonsultasi atau berdiskusi dengan Markesot soal ushulul-fiqh, aqidah, tasawuf, kenapa Nabi Muhammad kok rajin bertapa, kenapa Iblis ditugasi seperti itu, Sayidina Ali waktu ke Jawa Timur nginap di mana, kapan pas-nya Gadjah Mada bersyahadat, dan macam-macam lagi.

Hal Kitab Kuning, Markesot melihat saja belum pernah, bahasa Arabnya sebatas Anta Antum Ente. Tapi ada orang-orang tersesat ke Patangpuluhan tanya-tanya ke Markesot soal adzab. Seolah-olah dia pakar adzab. Padahal bisa jadi adzab adalah Markesot itu sendiri. Sekurang-kurangnya relawan adzab.

“Kalau dagang saya sukses, itu rejeki atau adzab?”, bertanyalah seorang tamu kepada Markesot. Dan Markesot merasa wajib menjawab.

“Tergantung tiga faktor. Pertama, kekayaan yang Sampeyan hasilkan dari sukses dagang itu Sampeyan bikin menjadikan hidup Sampeyan lebih baik atau tidak, lebih bersyukur dan lebih dekat ke Tuhan atau tidak, lebih membuat keluargamu sakinah mawaddah wa rahmah atau tidak”
Markesot diam-diam geli sendiri mendengar ucapan terakhir mulutnya itu. Dia tidak punya rumah, bagaimana mau sakinah. Tidak punya istri dan anak-anak, bagaimana mengalami mawaddah. Kalau rahmah memang melimpah, sebab Tuhan Maha Rahman Rahim, meskipun formula rahmah-Nya kepada Markesot di mata orang lain tampak seperti adzab.

“Faktor kedua, asal-usul dan lalu lintas mekanisme semua aspek dalam pekerjaan dagangmu itu bersih atau tidak, halal atau makruh, haram atau syubhat, menurut hitunganmu Tuhan marah atau tidak, Robbun Ghofur atau tidak, Tuhan memaafkanmu atau tidak, kalau memang ada sesuatu pada dagangmu yang membuat Tuhan surut senyum-Nya”

“Adapun faktor ketiga”, lanjut Markesot, “tertulis di Lauhil Mahfudh. Sudah tertera di halaman sekian di Kitab Agung karya Allah Swt itu bahwa sukses dagangmu itu dikehendaki Tuhan untuk suatu maksud dan rancangan”

“Apa maksud dan rancangan Tuhan terhadap dagang saya?”

“Saya belum membaca bagian yang menyangkut Sampeyan. Kapan-kapan saya cari waktu untuk membuka isi lembaran nasibmu di Lauhil Mahfudh”

“Kapan kira-kira?”, tanya si tamu, seolah-olah sedang minta ketegasan hari apa Markesot bisa mampir ke rumah dia.

“Ya nantilah. Saya sangat sibuk. Ya di dunia, ya di luar dunia, di banyak planet di alam semesta. Untuk Lauhil Mahfudh saya biasanya menyempatkan waktu khusus, karena urusannya langsung dengan karya Allah Swt. Kita harus suci, jiwa harus bening, hati jernih, pikiran kosong, dan jasad tidak berhadats”

Si tamu terkagum-kagum. “Masyaallah, Sampeyan sering ya membuka-buka dan membaca Lauhil Mahfudh?”

“Ya ndak terlalu sering. Kan saya sudah bilang hanya pada waktu-waktu yang khusus”

“Sebelum ini banyak juga orang yang minta tolong untuk membuka Lauhil Mahfudh seperti saya”

“Lumayan banyak. Dan saya selalu penuhi. Berdosa kalau saya tidak memenuhi permintaan sesama manusia. Jadi tidak bisa saya hitung jumlah persisnya saya membaca Lauhil Mahfudh. Yang pasti hanya satu, yaitu saya belum pernah berhasil, tidak pernah berhasil, dan tidak akan pernah, serta tidak akan diizinkan oleh Tuhan untuk mampu membaca Kitab Agung itu. Jadi kesimpulannya, saya tidak tahu. Jangankan yang urusan kecil seperti dagang Sampeyan ini. Lha wong setiap ada presiden terpilih, saya tidak pernah tahu itu berkah ataukah adzab”

Daur I No.072 Agamaterialisme


Memang bagi kebanyakan orang kemiskinan adalah bencana, dan kebanyakan orang menyimpulkan secara kolektif bahwa bencana itu mirip-mirip dengan adzab. Yah kira-kira hampir sama dan sebangun.

Sementara itu orang tidak kebanyakan juga kelihatannya kurang berminat untuk mengurusi apakah antara adzab dengan bencana itu sama ataukah berbeda. Kalau sama, kok bisa sama, bagaimana konteks sebab dan akibatnya. Kalau tidak sama, seberapa jaraknya.

Bencana, adzab, mushibah, celaka, sial, kemudian banjir, gempa, gunung meletus, badai, halilintar, petir, bercampur-aduk di dalam satu tabung makna. Ditambah lagi fakir, miskin, tak punya apa-apa, sengsara, berat, susah, sedih, derita, aib, malu.

Kalau racun berwarna kuning, kebanyakan orang berasosiasi bahwa yang membunuh bukan hanya racun, tapi juga kuning. Kalau kemiskinan itu berat dan menderita, maka segala penderitaan dan semua yang berat disimpulkan sebagai bencana, akhirnya bencana dikonklusikan sebagai adzab.

Manusia mengalami kelelahan untuk mengurai pengetahuan dan memilah gigir-gigir ilmu.
Rentang jarak yang bisa sangat panjang antara keadaan miskin dengan adzab, ditekuk, dilipat-lipat, digumpalkan menjadi satu titik. Peradaban panjang materialisme membawa ummat manusia menyisakan satu pengertian makna: bahwa kemiskinan adalah adzab.

Semua jenis kegiatan yang menghasilkan kekayaan harta benda, dianggap berkah. Segala perjuangan yang ujungnya adalah kebangkrutan keduniaan, dipahami sebagai adzab.

Sehingga mereka bersedia dijajah asal tidak miskin. Bahkan harta milik sebuah Bangsa dirampok tidak masalah, asalkan penduduk Negara Bangsa itu disisakan sedikit untuk penghidupan keluarganya. Kemiskinan itu hina, sehingga lebih baik ikut Iblis asalkan kaya, daripada setia kepada Tuhan tapi disuruh bersabar dalam kemiskinan.

***
Sampai-sampai membangun tempat ibadah pun tidak soal meskipun Setan yang membiayainya. Sehingga tidak perlu memverifikasi halal haramnya bantuan yang diberikan untuk pembangunan rumah ibadah itu.

Kemiskinan di dunia dimaknai sebagai bencana yang membuat manusia merasa hina dan rendah. Tidak hanya rendah di hadapan sesama manusia, tapi juga di depan dirinya sendiri. Adapun di depan Tuhan, mereka merasa tidak ada bahan untuk mengukurnya. Tidak ada mata kuliahnya. Tidak ada universitas dan fakultasnya.

Kehilangan martabat kemanusiaan tak masalah, asal tetap punya pekerjaan, bisa menghidupi keluarga dan memastikan kemakmuran. Tidak punya harga diri pribadi, harga diri kemasyarakatan dan kebangsaan, itu bukan persoalan, karena yang utama adalah tegaknya materialisme dalam kehidupan di dunia.

Manusia dan bangsa jenis itu, benderanya adalah “Anti Kemiskinan”, bukan “Anti Pemiskinan”, karena mereka melihat kekayaan dunia sebagai benda, bukan sebagai bahan-bahan di dalam tugas akhlak. Jargon mereka “Anti Kebodohan”, bukan “Anti Pembodohan”, karena faktanya kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dalam rangka anti-kebodohan ternyata adalah penumpukan kebodohan.

Seolah-olah Nabi pamungkas junjungan mereka adalah orang yang kaya raya seperti kakeknya, Sang Raja Sulaiman. Seakan-akan mereka tidak pernah mendengar bahwa junjungan mereka itu sangat sering mengganjal perutnya dengan batu agar tak terlalu merasa sedang lapar. Seakan-akan tak ada yang pernah menginformasikan kepada mereka bahwa luas rumah junjungan mereka itu panjangnya 4,80 X lebarnya 4,62 X tingginya 2,5 meter. Lebih sempit dari rata-rata kamar mandi mereka.

Seolah-olah para pemuka masyarakat mereka menyembunyikan fakta bahwa kekayaan beliau dibagi-bagi ke kelompok-kelompok ekonomi kecil di seantero Madinah. Sehingga beliau sendiri menempuh pola hidup yang jauh lebih miskin dari kebanyakan manusia zaman sekarang.

Kemudian miliaran pengikut beliau berabad-abad mengibarkan bendera “Anti Kemiskinan”. Dan kemiskinan yang dimaksudkan adalah pada konsep materialisme dan ideologi keduniaan.
Mayoritas penduduk bumi adalah pemeluk Agamaterialisme.

Tanpa penggambaran bahwa dunia adalah babak penyisihan, kemudian manusia maju ke babak-babak berikutnya, perdelapan final, perempat final, semifinal sampai final menjelang ketentuan final di depan gerbang Stadion Sorga dan Neraka.

***
Seakan-akan Tuhan tidak pernah memberi pernyataan bahwa “Tidaklah Kuberikan ilmu kepada kalian kecuali sangat sedikit”. Sehingga mereka pasang standar bahwa manusia itu harus pandai, maka harus “Anti Kebodohan”.

Ummat manusia di muka umumnya lalai dari penglihatan bahwa ‘audiens’ utama hidup mereka adalah Tuhan sendiri. “Innallaha Khobirun bima ta`malun”. Sesungguhnya Allah mengabarkan apa yang kalian lakukan. Allah penonton pentas dunia kita, Allah wartawan pengumpul data dan pemotret kelakuan kita, Allah redaktur penayang make up wajah kita. Kemudian Allah jaksa penuntut dan hakim kita.

Kealpaan manusia atas fakta panggung dan audiens itu membuat mereka mampu gagah perkasa mementaskan kepandaian, dengan jargon “Anti Kebodohan”. Mereka tidak menyusun kurikulum pada konteks dan urusan apa kepandaian diperkenankan Tuhan untuk diperlukan dan digunakan. Itu pun dengan batas takaran kepandaian yang dilapisi baja kewaspadaan.

Mereka juga tidak meneliti pada proporsi yang mana kebodohan sangat dibutuhkan oleh manusia demi keselamatannya. Manusia menyangka semakin ia tahu semakin baik dan selamat hidupnya. Manusia tidak mensimulasi kemungkinan-kemungkinan di mana kepandaian perlu dibatasi, sebagaimana kebodohan juga ditentukan kadarnya. Semua demi ketepatan letak keselamatan dalam konstruksi kehidupan yang disusun oleh Tuhan.

Telinga manusia dibatasi jangkauan pendengarannya, agar ia tidak perlu menjadi kalap dan gila karena kesanggupannya mendengar omong-omong orang di jarak yang jauh.

Mata manusia juga dibatasi hanya bisa melihat pada garis lurus, sebab kalau penglihatan bisa berbelok dan melingkar, maka pakaian orang lain tidak ada fungsinya. Dan kalau pakaian tidak berfungsi berarti semua orang telanjang. Dan kalau semua orang telanjang, peradaban dan kehidupan hanya berumur beberapa minggu.

Demi keselamatan hidup manusia, Tuhan menentukan batas penglihatannya, pendengarannya, jasad maupun batinnya, pengetahuan dan ilmunya, kekuatan dan kesanggupannya. Allah Maha Penakar. Allah Maha Pakar Batas.

Tetapi dasar manusia. Pada konteks di mana mereka butuh membatasi, mereka kejar ketidak-terbatasan. Pada konteks lain di mana mereka merdeka dari batas, mereka malah membatas-batasi.
Hasilnya kebudayaannya, ketika mereka tidak punya jalan selamat yang lain kecuali memilih patuh, misalnya kepada sunnah dan qadar Tuhan, mereka malah memilih kebebasan dan demokrasi.

Sebaliknya ketika Tuhan membuka kedaulatan bagi mereka, misalnya di wilayah pemikiran, kreativitas atau teknologi, mereka malah menjadi pembebek-pembebek kepada sesamanya.

Mereka balik dunia dijadikan akhirat, akhirat diduniakan. Rohani dijasmanikan, sambil bingung bagaimana merohanikan jasmani. Materialisme dituhankan, Tuhan dimaterikan.

Itulah yang oleh Markesot ditembangkan “bebendhu tan kasat mata, pepeteng kang malih rupa”. Agamaterialisme. Tampak seperti Agama, padahal materialisme. Tidak terasa materialisme, karena wajahnya Agama.

https://www.caknun.com/2016/agamaterialisme/
Koleksi Buku Yaddie Jossmart


LIST DAUR PERTAMA




DAFTAR LIST DAUR PERTAMA 1-309 

Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?

Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?   Buku Daur VI – Siapa Sebenarnya Markesot?, Buku Cak Nun, Buku Emha, Judul : Daur VI – Siap...